
Untuk pertama kalinya, Wali Kota Yogyakarta Hasto Wardoyo mengadakan Open House sebagai wadah bagi warga untuk menyampaikan aspirasi dan keluhan secara langsung. Acara ini berlangsung di Ruang Sadewa, Balaikota Yogyakarta, pada Rabu (5/3/2025). Kegiatan ini diharapkan menjadi jembatan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat guna menciptakan kebijakan yang lebih tepat sasaran.
Dalam open house perdana ini, sebanyak 13 warga serta sejumlah komunitas hadir untuk bertemu langsung dengan Wali Kota beserta jajaran. Suasana berlangsung hangat, dengan Hasto yang mendengarkan berbagai permasalahan warga secara langsung. Salah satu topik yang dibahas adalah rekayasa lalu lintas di kawasan Malioboro yang dirasa kurang nyaman bagi warga, terutama di wilayah Sosrowijayan.
“Dengan open house ini, kami mendapat masukan yang sangat natural dari warga yang merasakan langsung dampaknya,” ujar Hasto.
Selain itu, ia juga menerima keluhan mengenai dampak refocusing anggaran yang mengakibatkan beberapa warga kehilangan akses terhadap bantuan pendidikan, serta pemutusan Kartu Menuju Sejahtera (KMS) bagi sebagian penerima sebelumnya.
Hasto menegaskan bahwa inisiatif ini penting untuk menggali persoalan yang mungkin tidak terdeteksi dalam mekanisme pemerintahan biasa.
“Dengan Open House ini, kami bisa mendengar langsung aspirasi warga. Tujuan saya sebenarnya ingin mendengarkan masalah-masalah yang dialami oleh publik. Ini sangat penting, karena kadang-kadang masalah pribadi atau situasi tertentu tidak akan terlihat jika tidak ada komunikasi langsung,” tambahnya.
Kegiatan Open House ini direncanakan berlangsung setiap hari Rabu mulai pukul 05.30 hingga 09.00 WIB. Wali Kota berharap inisiatif ini dapat menjadi wadah yang efektif bagi warga untuk berkomunikasi dengan pemerintah, sekaligus memberikan solusi yang lebih tepat guna.
“Dengan mendengarkan langsung suara masyarakat, saya percaya dapat tercipta solusi yang lebih baik dan tepat guna untuk memajukan Kota Yogyakarta,” ungkapnya.
Salah satu warga yang hadir, Renny Anggriana Frahesty, Ketua Perkumpulan Narasita Perempuan Indonesia, mengapresiasi program ini sebagai langkah inovatif dalam pemerintahan Kota Yogyakarta.
“Saya sangat terkesan dengan adanya open house yang dilakukan oleh pemimpin Kota Yogyakarta yang merupakan pertama kalinya,” ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, Renny menyampaikan usulan terkait pentingnya pendidikan reproduksi di sekolah-sekolah guna menekan angka pernikahan anak.
“Karena Kota Yogyakarta masih banyak ditemui pernikahan anak, dengan membicarakan ini, beliau sangat memahami, bagaimana resiko dari peristiwa kehamilan yang tak dikehendaki. Di sini resiko perceraian dini juga bisa terjadi. Saya akan ikut mengawal dan membantu sesuai kapasitas saya,” jelas Renny.
Ia juga berencana melibatkan perempuan di 14 kecamatan dan 45 kelurahan untuk ikut serta dalam mengawal realisasi program pendidikan reproduksi ini.
“Saya kira ini bagian salurannya kepada masyarakat. Dengan jadwal yang padat, Wali Kota Yogyakarta memberikan waktunya kepada masyarakat untuk mendengarkan secara langsung keluh kesah mereka. Saya sangat terkesan dan menurut saya, ini harus dipergunakan oleh seluruh warga Kota Yogyakarta,” tambahnya.
Sementara itu, Eva, warga Kelurahan Pringgokusuman, mengungkapkan kekecewaannya terhadap penghentian bantuan pangan non-tunai yang sebelumnya ia terima. Ia menuturkan bahwa perubahan dalam program Jaminan Pendidikan Gratis (JPG) berdampak pada kelangsungan bantuan yang sangat ia butuhkan.
“Awalnya, saya mendapatkan bantuan pangan non-tunai, namun sekarang bantuan tersebut dihentikan. Hal ini membuat kami kesulitan, terutama untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga,” katanya.
Eva berharap agar kebijakan ini dapat dievaluasi kembali sehingga warga yang membutuhkan tetap mendapatkan bantuan.
Dengan adanya Open House ini, warga Yogyakarta memiliki kesempatan lebih luas untuk menyampaikan aspirasi mereka secara langsung, sementara pemerintah dapat merespons dengan kebijakan yang lebih akurat dan berpihak pada masyarakat.