
TUGUJOGJA— Peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day tahun ini kembali menyuarakan keresahan lama para pekerja, terutama di wilayah Gunungkidul.
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Gunungkidul, Budiyanto, menyoroti berbagai persoalan klasik yang hingga kini belum juga terselesaikan, mulai dari rendahnya upah hingga lemahnya posisi tawar tenaga kerja di tengah dominasi pengusaha.
Catatan May Day di Gunungkidul
“Isu yang kami angkat tidak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Kami masih menuntut pembatalan Omnibus Law yang banyak merugikan buruh, serta mendesak agar posisi tawar pekerja bisa ditingkatkan, khususnya di sektor padat karya,” ujar Budiyanto, Kamis (1/5/2025).
Ia menjelaskan, KSPSI Gunungkidul akan berpartisipasi dalam aksi longmarch pada 1 Mei di Titik Nol Kilometer Yogyakarta.
Sekitar 25-30 orang dari Gunungkidul akan diberangkatkan untuk bergabung bersama massa buruh lainnya dari berbagai daerah di DIY.
Menurut Budiyanto, keberadaan Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law menjadi momok tersendiri bagi kaum pekerja. Ia menilai regulasi tersebut menguntungkan pengusaha dan melemahkan perlindungan terhadap hak-hak buruh.
“Banyak pasal yang tidak berpihak pada pekerja, misalnya soal pengaturan penggajian, sistem kontrak yang semakin fleksibel tanpa kepastian, hingga pengurangan hak cuti. Ini membuat nasib buruh makin tidak menentu,” tegasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Perindustrian, Tenaga Kerja, Koperasi, dan UMKM Gunungkidul, Supartono, menyatakan bahwa secara umum iklim bisnis di wilayahnya masih dalam kondisi stabil.
Hingga saat ini, belum ada laporan mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dari perusahaan-perusahaan di Gunungkidul.
“Kondisi ekonomi Gunungkidul masih terkendali, tidak ada gejolak besar di sektor tenaga kerja. Kalaupun ada warga yang terkena PHK, itu sebagian besar berasal dari luar Gunungkidul, seperti yang terjadi di Sritex. Kami belum tahu pasti apakah mereka sudah kembali bekerja atau belum,” terang Supartono.
Meski demikian, ia mengakui masih banyak pekerja di Gunungkidul yang menerima upah di bawah Upah Minimum Kabupaten (UMK). Kondisi ini umumnya terjadi pada sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
“Upah yang rendah ini biasanya karena skala usaha yang kecil dan omset yang terbatas. Mayoritas UMKM kita menggunakan tenaga kerja di bawah 10 orang, dan belum mampu memberikan upah sesuai UMK,” jelasnya.
Momentum May Day di Gunungkidul tahun ini menjadi pengingat bahwa perjuangan buruh masih panjang.
Di tengah bayang-bayang regulasi yang tidak adil, serta keterbatasan daya saing sektor usaha kecil, suara para pekerja kembali menggema, menuntut keadilan, kepastian, dan keberpihakan dari negara. (ef linangkung)