
TUGUJOGJA – Sejak fajar menyingsing pada Jumat pagi, 6 Juni 2025, suasana Padukuhan Tumpak RT 24, Kalurahan Ngawu, Kapanewon Playen, Gunungkidul, terasa berbeda. Hiruk pikuk perayaan Idul Adha memenuhi udara, namun yang paling menarik perhatian bukanlah deretan sapi kurban atau keramaian di tempat penyembelihan.
Melainkan, pemandangan penuh makna dari kebersamaan lintas iman yang nyata—saat warga Muslim dan Nasrani bahu-membahu menyukseskan pelaksanaan kurban.
Salah satu sosok yang menyita perhatian adalah Hardono (43), warga Nasrani yang akrab disapa Dono. Ia datang lebih awal dari sebagian besar panitia lainnya, mengenakan kaus sederhana dan celana kerja. Sejak pagi selepas salat Id, Dono sudah bersiap di lokasi penyembelihan.
Dengan penuh semangat, ia mencacah daging sapi bersama warga lainnya, tanpa sekat, tanpa ragu. Tahun ini menjadi kali ketiganya ikut terlibat langsung dalam kegiatan kurban di lingkungan tempat tinggalnya.
“Sudah tiga tahun RT kami menyembelih sendiri hewan kurban. Saya juga sudah tiga kali ikut Idul Adha ini,” tutur Dono dengan senyum hangat, di tengah kesibukan mencacah daging sapi.
Sebanyak dua ekor sapi disembelih tahun ini. Dono dan warga pria lainnya bertugas mencacah daging, sementara para ibu di dapur komunitas mengemas dan memotong daging dalam ukuran yang lebih kecil.
Tak ada perbedaan, tak ada pengkotak-kotakan. Semua warga RT 24 menjadi panitia—apa pun latar belakangnya.
“Di sini semua warga menjadi panitia,” ucap Dono mantap.
Toleransi yang Tumbuh Bersama
Semangat kebersamaan itu bukan sekadar formalitas tahunan. Dono dan warga Nasrani lainnya bahkan turut meramaikan malam takbiran. Mereka tak hanya menjadi penonton, tetapi juga menjadi bagian dari perayaan.
“Semuanya guyup rukun, tidak membedakan latar belakang dan agama,” lanjut Dono, membuktikan bahwa toleransi bukan sekadar kata, tapi tindakan nyata yang dirawat bersama.
Ketua RT 24, Suroto, membenarkan hal tersebut. Ia menyatakan bahwa melibatkan semua warga dalam kegiatan hari besar agama Islam sudah menjadi budaya yang mengakar.
Tak ada batas agama dalam kerja gotong royong. Menurutnya, keharmonisan itu lahir dari prinsip hidup yang sederhana namun kuat: guyup rukun saklawase.
“Slogan kami itu: guyup rukun saklawase. Kami tidak pernah membedakan agama,” tegas Suroto.
Ia berharap semangat kekeluargaan yang telah terbina selama bertahun-tahun terus terjaga hingga generasi berikutnya. Baginya, kebersamaan di RT 24 bukan hanya menjadi teladan lokal, melainkan simbol hidup damai dalam perbedaan.
Di tengah dunia yang kerap diramaikan oleh perpecahan karena perbedaan, warga Padukuhan Tumpak membuktikan bahwa toleransi masih hidup dan bisa tumbuh subur—selama ada niat baik, saling menghormati, dan semangat gotong royong.
Perayaan Idul Adha 2025 di Gunungkidul bukan hanya tentang ibadah kurban, tetapi juga tentang merayakan persaudaraan lintas iman yang tulus.