
TUGUJOGJA – Belasan guru madrasah swasta yang tergabung dalam Perkumpulan Guru Inpassing Nasional (PGIN) Gunungkidul menumpahkan kegundahan mereka di Gedung DPRD Gunungkidul, Selasa, 8 Juli 2025.
Mereka menuntut alokasi dana Bantuan Operasional Sekolah Daerah (Bosda) yang selama satu dekade terakhir tak pernah menyentuh madrasah di Bumi Handayani.
Guru-guru itu datang membawa suara hati yang terabaikan. Ketua PGIN Gunungkidul, Durroh Yatimah, mengungkapkan bahwa madrasah swasta di Gunungkidul sudah hampir sepuluh tahun menanti Bosda. Mereka terus berharap dana tersebut bisa membantu operasional madrasah seperti yang diterima sekolah-sekolah negeri.
“Sebenarnya cuma Bosda saja yang kami perjuangkan. Sudah hampir 10 tahun nggak cair. Kami ingin Bosda untuk MI, MTs, dan RA diaktifkan kembali. Kalau MA memang sudah ditangani provinsi,” tegas Durroh, matanya berkaca-kaca menahan getir perjuangan panjang para guru madrasah.
Durroh menambahkan, madrasah swasta di Gunungkidul selama ini berdiri atas keringat dan pengabdian para guru. Ia menekankan bahwa siswa madrasah juga mayoritas berasal dari keluarga Gunungkidul dengan kondisi ekonomi yang serba terbatas.
“Kami hanya ingin anak-anak kami juga dapat beasiswa retrieval, meskipun hanya 10 siswa per madrasah, itu sudah sangat membantu mereka membeli buku dan seragam,” tuturnya lirih.
Durroh dan PGIN juga menuntut perhatian pemerintah terhadap nasib guru non-PNS (GBPNS) yang selama ini tidak pernah tersentuh insentif Kementerian Agama. Ia menyebut jumlah guru non-PNS yang belum pernah merasakan insentif mencapai 881 orang di seluruh Gunungkidul.
“Jumlah guru non-PNS yang belum dapat insentif dari Kemenag ada sekitar 881 orang. Kami berharap bisa dianggarkan dan segera terealisasi,” tegasnya.
Selain Bosda dan insentif, Durroh menyinggung kesenjangan kesejahteraan antara guru negeri dan guru swasta yang sama-sama memikul beban kerja berat. Guru swasta menurutnya hanya ingin keadilan melalui sertifikasi inpassing dan peluang diangkat menjadi PPPK seperti guru-guru negeri.
“Kalau beban kerja guru swasta dan negeri itu hampir sama, tapi dari sisi kesejahteraan sangat jauh berbeda. Ini yang perlu diperhatikan,” katanya.
Data PGIN mencatat, jumlah guru madrasah swasta di Gunungkidul yang belum pernah mendapatkan sertifikasi inpassing mencapai 881 orang. Sedangkan guru yang sudah tersertifikasi baru sekitar 481 orang.
Kondisi ini menambah deretan panjang kesenjangan kesejahteraan di sektor pendidikan berbasis keagamaan.
Durroh berharap DPRD Gunungkidul dapat memperjuangkan aspirasi mereka di tingkat eksekutif. Ia menegaskan bahwa perjuangan mereka bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan demi kesetaraan pendidikan.
“Sebenarnya tinggal menambahkan MI/MTs di garis program anggaran seperti SD/SMP. Sesederhana itu. Kami hanya ingin kesetaraan dan keadilan,” tandasnya.
Ketua DPRD Gunungkidul, Endang Sri Sumiyartini, menyambut aspirasi guru madrasah tersebut. Ia berjanji akan mempelajari masalah ini lebih lanjut bersama komisi terkait dan jajaran eksekutif sebelum mengambil keputusan.
“Ini kan aspirasi guru, pahlawan tanpa tanda jasa. Saya pribadi tentu mendukung, tetapi kita perlu mempertimbangkan terlebih dulu mengingat adanya kebijakan efisiensi. Nanti kita juga perlu mendengar pendapat dari Kanwil Kemenag Gunungkidul, Dinas Pendidikan, dan BKPPD,” ujar Endang.
Guru-guru madrasah swasta Gunungkidul kini menanti realisasi janji tersebut. Mereka berharap keadilan segera hadir, menghapus sepuluh tahun derita tanpa Bosda yang menekan ruang gerak pendidikan keagamaan di pelosok Gunungkidul.