
TUGUJOGJA- Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (DPKH) Kabupaten Gunungkidul terus berupaya meningkatkan kesejahteraan peternak melalui perbaikan manajemen pembibitan sapi. DPKH Gunungkidul menutup program JICA Grass-Root Project pada Rabu (2/7/2025).
Program ini telah berjalan sejak Juli 2022 dengan tema Improving Cattle Breeding Management for the Well-Being of Farmers, Yogyakarta.
Program Peningkatan Manajemen Pembibitan Sapi
DPKH Gunungkidul bekerja sama dengan Universitas Yamaguchi Jepang dan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dalam pelaksanaan program ini. Program ini menargetkan peningkatan manajemen reproduksi sapi untuk mendukung kesejahteraan peternak di Gunungkidul.
Kepala DPKH Gunungkidul, Wibawanti Wulandari, menegaskan bahwa sektor peternakan memiliki potensi besar untuk mendorong pembangunan ekonomi masyarakat.
Wibawanti menekankan bahwa melalui sektor peternakan, DPKH Gunungkidul membantu masyarakat meningkatkan pengetahuan tentang teknik dan manajemen produksi ternak.
“Tujuan program ini yakni meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan peternak,” ujarnya.
Pada kunjungan terakhir program JICA Grass-Root Project pada 11–12 Februari 2025, perwakilan JICA Dr. Masayasu Taniguchi (DVM, PhD) dari Universitas Yamaguchi bersama drh. Topas Wicaksono Priyo Jr., M.Sc dari FKH UGM mengevaluasi hasil sinkronisasi estrus selama dua tahun.
Wibawanti mengungkapkan bahwa tingkat kebuntingan sapi pada program ini mencapai 36% pada tahun pertama dan 33% pada tahun kedua. DPKH Gunungkidul menyampaikan optimisme atas kelanjutan kerja sama dengan Universitas Yamaguchi Jepang dan Fakultas Kedokteran Hewan UGM.
“Kami berharap sinergi ini terus terjalin dan melahirkan tema-tema baru untuk memajukan sektor peternakan di Kabupaten Gunungkidul,” tambahnya.
DPKH Gunungkidul mencatat program ini menghasilkan kelahiran 107 pedet dari kegiatan sinkronisasi estrus. Jika dikonversi dengan estimasi harga pedet Rp10 juta per ekor, maka potensi pendapatan peternak mencapai Rp1,07 miliar.
Selain itu, program ini meningkatkan pengetahuan dan keterampilan para petugas inseminator dan dokter hewan di Gunungkidul. DPKH mencatat peningkatan pengetahuan tentang sinkronisasi estrus FTAI sebesar 60,7%, peningkatan keterampilan penggunaan metode FTAI sebesar 64,3%, dan peningkatan keterampilan penggunaan USG sebesar 57,1%.
Rencana Pengembangan Program
Dosen Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Agung Budiyanto, menyampaikan harapan agar kerja sama ini terus berlanjut. Agung menegaskan program ini terbukti bermanfaat dalam meningkatkan populasi sapi PO dan kualitas SDM peternakan di Gunungkidul.
Ia juga menyebut beberapa rencana pengembangan program ke depan, antara lain perluasan wilayah dan populasi sapi, penambahan jumlah petugas inseminasi buatan (IB) dan dokter hewan, penerapan teknologi semen sexing dan genomic mapping sapi PO, riset keberagaman genetik sapi PO.
“Kami juga lakuka pengembangan deteksi molekuler penyakit terkait kinerja reproduksi sapi,” tutur dia.
Associate Professor dari Universitas Yamaguchi, Masayasu Taniguchi, menyampaikan bahwa metode Fixed-Time Artificial Insemination (FTAI) yang diterapkan dalam program ini menunjukkan hasil menggembirakan.
Taniguchi menjelaskan metode FTAI dengan program Ovsynch berhasil meningkatkan angka kebuntingan sapi di Gunungkidul. Metode ini efektif diterapkan pada sapi lokal PO (Peranakan Ongole) maupun sapi persilangan.
Taniguchi menegaskan metode ini berhasil mengatasi berbagai kendala reproduksi sapi di Gunungkidul. Ia menyebut metode FTAI berhasil mengatasi infertilitas jangka panjang pada sapi yang tidak bunting hingga empat tahun atau memiliki jarak kelahiran lebih dari 40 bulan.
“Metode ini efektif untuk sapi dengan gangguan ovarium, seperti hipofungsi ovarium yang menyebabkan aktivitas ovarium lemah,” ungkapnya.
Taniguchi mengungkapkan temuan penting dalam penelitian ini, yakni ukuran ovarium menjadi faktor kunci keberhasilan FTAI. Taniguchi menekankan pentingnya edukasi peternak tentang ukuran ovarium dalam program reproduksi sapi.
Selain itu, Taniguchi juga mengingatkan dampak negatif penyakit kuku dan mulut (FMD) terhadap kebuntingan sapi. Ia menjelaskan sapi yang terinfeksi FMD setelah perlakuan FTAI tidak berhasil bunting, sedangkan sapi yang sehat menunjukkan tingkat kebuntingan sesuai harapan.
Taniguchi menyatakan kebanggaannya dapat berbagi ilmu dan strategi dalam proyek ini. Ia berharap keberhasilan program ini membawa perubahan positif bagi peternakan di Gunungkidul dan menginspirasi kemajuan peternakan di seluruh Indonesia. (ef linangkung)