
TUGUJOGJA – Suasana gegap gempita membungkus pembukaan Jogja Fashion Week (JFW) 2025 pada Rabu, 7 Agustus 2025. Setelah dua dekade menjadi etalase mode kebanggaan Daerah Istimewa Yogyakarta, tahun ini JFW mencatat sejarah baru.
Untuk pertama kalinya, ajang mode paling prestisius di Yogyakarta ini mengundang 67 brand lokal secara mandiri, melibatkan komunitas difabel, menggandeng karya kreatif warga binaan, sekaligus membuka ruang konsultasi kekayaan intelektual bagi pelaku industri kreatif.
Dengan mengusung tema Threads of Tomorrow, JFW 2025 menjahit pesan bahwa mode bukan sekadar gaya, melainkan medium perubahan berkelanjutan yang tetap berakar kuat pada tradisi budaya lokal.
Acara ini menghadirkan pameran, kompetisi, hingga ruang kolaborasi lintas komunitas yang menghidupkan denyut kreatif Yogyakarta dari segala penjuru.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan DIY, Yuna Pancawati, yang juga menjabat Ketua Panitia, menyampaikan bahwa ajang ini berlangsung selama empat hari, 7–10 Agustus 2025. Ia menegaskan bahwa pelaku UMKM kreatif dan desainer DIY mampu menjawab tantangan zaman dengan inovasi tanpa kehilangan jati diri.
Empat klaster utama menjadi sorotan: Fashion Batik, Casual & Sportswear, Aksesoris, serta Kriya dan Craft. Sebanyak 107 booth berdiri megah di arena pameran, dengan 45 di antaranya berasal dari peserta mandiri.
UMKM dari berbagai daerah, mulai dari DIY hingga Aceh, turut menorehkan warna dan memperkaya ragam karya yang dipamerkan.
Kompetisi dan Pesan Keberlanjutan di Panggung JFW
JFW 2025 juga menggelar Jogja Fashion Design Competition, sebuah ajang bergengsi yang diikuti 115 peserta dari berbagai daerah seperti Jakarta, Pekanbaru, Blitar, Banjarnegara, Purworejo, Semarang, Klaten, Riau, hingga Banyumas.
Dari berbagai daerah tersebut lahir rancangan yang memadukan kreativitas, keberanian bereksperimen, dan sentuhan lokal yang khas.
Yuna menargetkan lebih dari 5.000 pengunjung akan memadati arena JFW selama empat hari penyelenggaraan, dengan potensi transaksi bisnis mencapai Rp2 miliar. Angka ini menjadi bukti bahwa industri fashion lokal mampu menjadi motor penggerak ekonomi kreatif.
Dalam sambutan yang dibacakan Wakil Gubernur DIY, KGPAA Paku Alam X, Gubernur DIY menegaskan bahwa dunia mode kini bukan lagi sekadar perkara estetika.
Dunia mode tak lagi hanya soal estetika, tetapi juga medium perubahan yang menjahit harapan baru, menganyam keberlanjutan, dan merajut identitas yang progresif.
Sri Paduka menyoroti tantangan yang dihadapi industri mode, mulai dari krisis iklim, pergeseran selera generasi muda, hingga pesatnya perkembangan teknologi digital.
Menurutnya, semua itu menjadi alasan kuat bahwa industri fashion harus bertransformasi dan berinovasi.
“Tradisi dan teknologi bukan dua kutub yang berlawanan, melainkan bisa dipadukan untuk mencipta masa depan yang lestari,” tutur Sri Paduka.
Ia juga menegaskan bahwa kearifan lokal Yogyakarta menjadi fondasi utama membangun ekosistem mode berkelanjutan. Nilai-nilai seperti keselarasan, kelestarian, dan welas asih terhadap alam menjadi sulaman tak tergantikan dalam setiap karya.
“Keberlanjutan tidak berarti keterbatasan, melainkan kebijaksanaan dalam mencipta,” lanjutnya.