
TUGUJOGJA – Jumlah kasus HIV di Kota Yogyakarta terus meningkat dan telah mencapai angka 1.425 kasus. Dari jumlah tersebut, sebanyak 337 orang sudah masuk dalam kategori AIDS.
Fakta ini menjadi alarm serius yang menggugah pemerintah dan masyarakat untuk memperkuat langkah pengendalian agar kondisi ini tidak berkembang menjadi epidemi besar.
Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo, menegaskan pentingnya penanganan sistematis terhadap persoalan HIV dan AIDS.
Penanganan Kasus HIV di Yogyakarta
Ia menyampaikan bahwa meski jumlah kasus masih relatif terjangkau, upaya pencegahan dan penanganannya harus tetap berlangsung secara serius serta berkelanjutan.
Pemerintah Kota Yogyakarta menerapkan strategi global Fast Track 95-95-95 dalam penanggulangan HIV dan AIDS.
Strategi ini menargetkan 95 persen orang dengan HIV mengetahui statusnya, 95 persen dari mereka menjalani terapi ARV (Antiretroviral), dan 95 persen dari penerima terapi berhasil menekan jumlah virus dalam tubuh hingga tidak terdeteksi.
“Pemutusan rantai penularan harus fokus pada kelompok-kelompok dengan risiko tinggi. Kita harus terus memetakan lokasi baru pasca relokasi kawasan seperti Bong Suwung, agar populasi berisiko tetap terjangkau oleh layanan,” kata Hasto.
Ia menambahkan bahwa pihaknya menerima banyak keluhan dari warga yang kesulitan melakukan skrining HIV karena keterbatasan biaya, terutama warga luar kota.
Oleh karena itu, Hasto mendorong kerja sama lintas lembaga, komunitas, dan pemerintah agar semua orang bisa mengakses layanan skrining secara gratis, khususnya di wilayah dengan tingkat risiko tinggi.
Upaya UPKM Bethesda YAKKUM
Upaya konkret dalam pengendalian HIV dan AIDS juga dijalankan oleh Unit Pelayanan Kesehatan Masyarakat (UPKM) Bethesda YAKKUM.
Lembaga ini mengembangkan program pengendalian terpadu sejak 2019 di delapan kelurahan di Kota Yogyakarta, yaitu Bener, Kricak, Sosromenduran, Pringgokusuman, Gedongkiwo, Suryodiningratan, Warungboto, dan Giwangan.
Project Manager Program dari UPKM Bethesda, Ganis Kristia, menjelaskan bahwa program ini dimulai dengan pembentukan ulang Warga Peduli AIDS (WPA) di masing-masing kelurahan.
Pemerintah kelurahan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) legalitas untuk mendukung keberadaan WPA. UPKM lalu memberikan pelatihan menyeluruh seperti berikut.
- Edukasi HIV dan AIDS
- Advokasi kebijakan lokal
- Pelatihan keterampilan seperti pijat tradisional, pemanfaatan herbal dan pangan lokal
- Pelatihan pendampingan ODHIV (Orang dengan HIV)
“Kami juga melatih WPA menjadi pengawas minum obat ARV, karena keberhasilan terapi sangat bergantung pada konsistensi konsumsi obat. WPA memiliki tiga peran utama: mengedukasi masyarakat, mengidentifikasi kelompok berisiko, dan menjaga lingkungan tetap kondusif bagi ODHIV,” ujar Ganis.
Ganis menegaskan bahwa stigma menjadi tantangan terbesar. Masyarakat kerap salah paham tentang penularan HIV, sehingga memunculkan rasa takut dan diskriminasi.
Untuk itu, WPA mendorong pendekatan edukatif yang melibatkan ODHIV secara langsung untuk berbagi testimoni dan membangun pemahaman yang benar.
Selain mengedukasi, WPA juga diarahkan agar mampu mandiri secara ekonomi. Pelatihan keterampilan bertujuan membangun kapasitas dan kemandirian finansial anggota WPA, agar menjadi agen perubahan sekaligus penggerak ekonomi lokal.
Direktur UPKM Bethesda YAKKUM, Wahyu Priosaptono, menegaskan komitmen lembaganya dalam memperkuat pengendalian HIV dan AIDS dengan pendekatan rumah sakit tanpa dinding.
Konsep ini berfokus pada pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan kesehatan primer yang menyentuh langsung kebutuhan komunitas.
“Program ini sudah kami jalankan sejak 2019 di Yogyakarta dan Kabupaten Belu. Kini memasuki tahun keenam, kami melihat banyak perubahan positif, mulai dari adanya kebijakan yang berpihak, layanan kesehatan yang inklusif, hingga pengurangan stigma di masyarakat,” ujar Wahyu.
Agenda UPKM Bethesda YAKKUM
Wahyu menyampaikan bahwa pihaknya mengusung empat agenda utama ke depan.
- Pertama, merefleksikan praktik baik selama enam tahun program berjalan.
- Kedua, meneguhkan keberlanjutan program WPA di wilayah binaan.
- Ketiga, menyelenggarakan pasar komunitas sebagai wadah partisipasi masyarakat.
- Keempat, memastikan dukungan dari para pemangku kepentingan agar program pengendalian HIV dan AIDS terus berjalan.
Ia menegaskan bahwa target global tahun 2030 untuk mencapai nol infeksi baru, nol kematian akibat AIDS, dan nol diskriminasi bukanlah sesuatu yang mustahil.
Kuncinya terletak pada kerja kolaboratif antar pemangku kepentingan dan kemauan membangun jaringan mitra yang luas dan berdaya tahan. (ef linangkung)