
TUGUJOGJA – Sebuah kisah kelam dan memilukan terkuak di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sepasang kekasih asal Temanggung, Jawa Tengah, ditetapkan sebagai tersangka atas kasus penelantaran hingga kematian bayi yang baru mereka lahirkan.
Polisi mengungkap, pasangan muda ini sempat menjalin hubungan asmara selama satu setengah tahun, namun justru mengakhiri cerita cinta mereka dengan aksi mengubur darah daging sendiri di kebun pisang.
Kasatreskrim Polresta Sleman, AKP Matheus Wiwit Kustiyadi, membuka secara gamblang kronologi yang membuat publik terguncang.
Pada Sabtu, 26 Juli 2025, sesosok bayi laki-laki ditemukan dalam kondisi tak bernyawa, terkubur di kebun milik warga di wilayah Maguwoharjo. Temuan mengerikan itu langsung memicu penyelidikan intensif dari aparat kepolisian.
Penelusuran Polisi dari Klinik ke Kosan
Polisi bergerak cepat. Mereka menelusuri berbagai klinik bersalin dan rumah sakit yang kemungkinan menerima pasien persalinan.
Dari hasil penggalian data, muncul informasi krusial: seorang perempuan muda datang sendirian ke Klinik Bersalin Amanah, Condongcatur, Depok, Sleman, dengan keluhan pascapersalinan. Ia tak membawa bayi. Ia juga tak didampingi keluarga.
“Kejanggalan itu menjadi titik awal,” tegas AKP Wiwit dalam konferensi pers di Mapolresta Sleman, Rabu (6/8/2025).
Tim Reskrim mendalami informasi tersebut dan berhasil mengidentifikasi sosok perempuan itu sebagai JA (20), seorang mahasiswa asal Temanggung. JA selama ini menempuh studi di salah satu perguruan tinggi swasta di Sleman. Ia menjalin hubungan dengan AGR (22), mahasiswa dari daerah asal yang sama.
Petugas memburu jejak. Setelah menelusuri indekos pasangan itu di Jalan Candi Gebang, Wedomartani, Kapanewon Ngemplak, polisi mengamankan keduanya. Di hadapan penyidik, keduanya mengaku telah mengubur bayi mereka di kebun pisang, tepat di depan kos AGR.
“Keduanya tinggal di kos berbeda. AGR tinggal di Jalan Candi Gebang, sedangkan JA tinggal di kawasan Maguwo. Namun saat melahirkan, JA datang ke kos AGR dan melahirkan di kamar mandi,” ungkap AKP Wiwit.
Fakta-fakta memilukan satu per satu terkuak. Polisi menyita sejumlah barang bukti yang memperkuat dugaan keterlibatan keduanya.
Di antaranya, satu batang besi sepanjang 25–30 cm yang digunakan untuk menggali tanah, selembar sprei, dan jaket hitam. Semua barang tersebut diduga erat kaitannya dengan peristiwa pembuangan bayi.
Indikasi Kekerasan dan Proses Hukum
Kasubnit PPA Polresta Sleman, Ipda Arum Sari, menjelaskan lebih lanjut mengenai proses kelahiran tragis tersebut. JA melahirkan tanpa bantuan medis, tanpa keluarga, dan tanpa rasa aman.
Bayi laki-laki itu lahir dalam kondisi hidup dan sempat bertahan sekitar satu jam. Namun, karena kepanikan dan ketidaksiapan mental, pasangan ini justru mengambil keputusan keji: menguburkan bayi mereka.
“Mereka mengaku syok dan takut. Tapi dari hasil visum ditemukan ada tanda-tanda kekerasan pada tubuh bayi. Jadi bukan semata karena panik. Kami dalami lebih lanjut,” ucap Ipda Arum.
Polisi tidak tinggal diam. Proses penyidikan terus berkembang. Indikasi kuat kekerasan terhadap bayi memunculkan pertanyaan baru: apakah kematian bayi itu memang murni akibat ketidaksengajaan atau ada unsur kesengajaan?
“Motifnya saat ini diduga karena syok. Tapi hasil visum menyebut ada luka kekerasan, dan kami mendalami kemungkinan pelaku melakukan tindakan lain terhadap bayi tersebut,” lanjut AKP Wiwit dengan nada serius.
Pihak kepolisian menjerat JA dan AGR dengan Pasal 77B jo Pasal 76B dan/atau Pasal 80 jo Pasal 76C Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, serta Pasal 55 KUHP. Keduanya terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara.
Sementara itu, aparat kepolisian mengimbau masyarakat, khususnya para remaja dan mahasiswa, untuk lebih terbuka terhadap persoalan kesehatan reproduksi dan berani mencari bantuan ketika menghadapi masalah kehamilan di luar nikah.
“Negara hadir melalui berbagai layanan, dan setiap anak memiliki hak untuk hidup, bahkan sejak dalam kandungan,” kata dia.