
TUGUJOGJA – Langit biru Pantai Parangkusumo mendadak berubah menjadi kanvas raksasa penuh warna. Ratusan layang-layang berbagai bentuk dan dimensi menari anggun diterpa angin, menghadirkan pemandangan magis yang membius ribuan pasang mata.
Sabtu siang itu, Jogja International Kite Festival (JIKF) 2025 resmi membuka perhelatannya dan mengukir sejarah sebagai ajang budaya berskala global yang sarat makna ekologis dan diplomatik.
Layang-Layang 3 Dimensi di Parangkusumo
Ketua JIKF, RM Kukuh Hestrianing, memimpin langsung pembukaan festival yang digelar Sabtu (26/7/2025) mulai pukul 14.00 WIB. Ia memastikan lebih dari 200 layang-layang, baik dua dimensi maupun tiga dimensi, siap menghiasi angkasa.
Festival ini tidak hanya menampilkan bentuk-bentuk tradisional, tetapi juga menghadirkan ragam kreasi layang-layang modern dari berbagai negara.
“Kami menghadirkan lebih dari 20 klub layang-layang dari dalam maupun luar negeri. Yang paling mendominasi tahun ini adalah layang-layang tiga dimensi. Mereka datang membawa desain unik, struktur rangka yang kompleks, dan sistem keseimbangan aerodinamis yang mengagumkan,” ujar Kukuh dengan mata berbinar.
Para peserta tak hanya memamerkan hasil kreativitas, tetapi juga mengikuti sistem penilaian ketat berdasarkan SOP penerbangan layang-layang. Semua layang-layang akan diturunkan kembali keesokan pagi setelah menjalani penilaian estetika, ketinggian, teknik terbang, hingga pesan filosofis di balik desainnya.
Kesenian Tradisional Iringi Langit yang Berwarna
Festival ini tidak hanya mengandalkan atraksi visual. Panitia menyuguhkan rangkaian pertunjukan seni khas Yogyakarta, mulai dari gedruk, sesi foto budaya, hingga tarian klasik Jawa.
Semua acara mengalir menuju puncak seremoni: Upacara Labuhan Alit, simbol rasa syukur masyarakat pesisir kepada alam.
“Peresmian festival kami tandai dengan menerbangkan layang-layang khusus dari DKF. Ini bukan sekadar festival, tetapi juga bentuk diplomasi budaya. Kita bicara tentang perdamaian, lingkungan, dan harmoni global,” tegas Kukuh.
Kepala Dinas Pariwisata DIY, Imam Pratanadi, memuji pelaksanaan festival ini. Ia menegaskan bahwa keberagaman destinasi wisata di DIY membutuhkan event-event unggulan seperti JIKF untuk memperkuat daya tariknya.
“Setiap kabupaten di DIY memiliki karakter wisata yang khas. Maka, kami mendorong penambahan daya tarik melalui event budaya. JIKF adalah bukti nyata bagaimana promosi berbasis budaya lokal mampu menarik wisatawan internasional,” ucap Imam.
Imam mengungkapkan bahwa event ini lahir dari kolaborasi apik antara Pemda DIY, Pemkab Bantul, komunitas Tali Kama, dan Angka 1. Festival ini berhasil bertahan selama satu dekade berkat dukungan penuh Dana Keistimewaan (Danais).
Ia berharap tahun-tahun mendatang akan lebih banyak negara yang ikut serta, melampaui rekor 11 negara yang pernah berpartisipasi.
Bupati Bantul, Abdul Halim Muslich, menyatakan kegembiraannya atas peningkatan kunjungan ke Pantai Parangkusumo. Ia menyebut Pantai Parangkusumo sebagai satu dari lima destinasi wisata unggulan di DIY yang melegenda dan memiliki kekuatan naratif tersendiri.
“Kunjungan meningkat signifikan. Ini membuktikan bahwa Danais mampu meningkatkan kinerja sektor pariwisata. Parangkusumo bukan hanya pantai, tetapi juga simbol spiritual, budaya, dan kini diplomasi lingkungan dunia,” ujar Halim dengan nada bangga.
Diplomasi Budaya dalam Balutan Angin dan Tali Layang
Festival ini bukan sekadar atraksi hiburan. Kukuh menekankan bahwa JIKF 2025 membawa misi global yaitu membangun jejaring perdamaian lintas negara melalui media yang sederhana ntapi amun sarat makna: layang-layang.
Ia mengajak dunia mengenal Indonesia melalui simbol kelembutan, kreativitas, dan keharmonisan dengan alam.
“Mengikat benang layang-layang seperti menghubungkan manusia dari seluruh penjuru dunia. Kita terbangkan pesan damai dari Parangkusumo untuk dunia,” ujarnya lirih namun penuh makna.
Saat matahari mulai turun ke cakrawala, langit Parangkusumo tetap penuh warna. Ratusan layang-layang masih melayang, menjadi simbol semangat, budaya, dan harapan.
Festival JIKF 2025 telah membuktikan bahwa diplomasi tidak selalu hadir dalam ruang perundingan. Ia bisa tumbuh dari angin, pantai, dan senyum anak-anak yang menatap ke langit penuh harap.
Festival ini akan berlanjut hingga Minggu pagi dengan sesi penilaian akhir dan penurunan layang-layang. Panitia berharap tradisi ini terus tumbuh dan membawa nama Indonesia semakin tinggi — setinggi layang-layang yang mereka terbangkan. (ef linangkung)