
TUGUJOGJA – Gubernur Jawa Barat Dedy Mulyadi meluncurkan program kontroversial dengan mengirim siswa-siswa yang dianggap nakal ke barak militer. Langkah ini bertujuan untuk menekan angka kenakalan remaja yang meningkat di wilayahnya.
Program ini menjadi perbincangan publik dan mendapat tanggapan dari berbagai pihak, termasuk Menteri Sosial Saefullah Yusuf atau Gus Ipul.
Gus Ipul menyatakan belum mengetahui secara rinci konsep dan pelaksanaan program tersebut. Namun, ia menilai semua upaya yang bertujuan memperbaiki karakter anak-anak bangsa patut diapresiasi, meski tetap perlu kajian mendalam terkait pendekatan dan dampaknya.
“Biasanya kalau soal anak-anak masyarakat, saya belum paham benar gagasan dasarnya dan solusi apa yang ditawarkan. Tapi setiap upaya untuk anak-anak kita menjadi lebih baik itu baik, meski caranya tentu perlu dikaji,” ujar Gus Ipul saat ditemui di Yogyakarta, Sabtu, 3 Mei 2025.
Gus Ipul menambahkan bahwa Kementerian Sosial selama ini fokus menangani kelompok rentan seperti anak-anak terlantar, korban kekerasan, perempuan korban perdagangan orang, dan mereka yang mengalami masalah psikologis.
Ia menekankan perlunya pendekatan rehabilitatif dan edukatif dalam menangani permasalahan anak dan remaja.
“Saya belum tahu persis dari sisi sosialnya, karena kami biasanya menangani yang betul-betul rentan secara sosial, psikologis, dan hukum. Kalau pendekatannya militer, itu harus dikaji apakah sesuai dengan hak anak dan prinsip perlindungan anak,” tegasnya.
Alasan dan Konsep di Balik Program Barak Militer
Sebelumnya, Gubernur Dedy Mulyadi menjelaskan bahwa program pengiriman ke barak militer adalah bagian dari upayanya membentuk karakter disiplin dan tangguh pada remaja.
Ia melihat maraknya kenakalan pelajar, seperti tawuran, perundungan, hingga penyalahgunaan media sosial, perlu ditangani secara tegas dan sistematis.
“Anak-anak yang terbukti melakukan pelanggaran berat akan dikirim ke barak militer agar mereka belajar disiplin, nasionalisme, dan tanggung jawab. Ini bukan hukuman, tapi pembinaan,” kata Dedy saat meninjau salah satu barak pelatihan.
Dedy menyebut program ini juga melibatkan psikolog, tokoh agama, dan pelatih dari unsur TNI.
Mereka akan mendampingi para siswa selama masa pembinaan yang berlangsung selama 1–3 bulan, tergantung pada pelanggaran dan perkembangan anak.
Kebijakan ini menuai tanggapan beragam. Sebagian masyarakat mendukung karena dianggap bisa mengurangi kenakalan remaja, sementara sebagian lainnya khawatir dengan potensi pelanggaran hak anak.
Pemerintah pusat melalui Kementerian Sosial dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyatakan akan memantau dan mengevaluasi implementasi program tersebut untuk memastikan tetap berada dalam koridor perlindungan anak.***