
TUGUJOGJA – Senin (14/07/2025), pagi pertama tahun ajaran baru 2025/2026 menyapa ratusan sekolah di Gunungkidul dengan gegap gempita.
Namun, suasana berbeda justru menyelimuti SMP PGRI Playen. Sekolah yang berdiri sejak 1969 itu memulai Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) dengan hanya beberapa murid baru.
Sekolah-sekolah favorit tampak semarak oleh riuh tawa siswa-siswi baru. Para guru sibuk menyiapkan kegiatan perkenalan yang menghidupkan semangat sekolah. Namun SMP PGRI Playen menyaksikan sepi di tengah harapan menumbuhkan generasi cerdas.
Hari Pertama MPLS di SMP PGRI Playen
Kepala SMP PGRI Playen, Arif Setyo Prabowo, menuturkan pihaknya hanya mendapatkan 7 siswa baru tahun ini. Ia menyebut 6 siswa merupakan santri dari pondok pesantren di Kalurahan Bandung, sedangkan 1 lainnya berasal dari warga lokal Playen.
“Sebenarnya ada 1 siswa dari Paliyan, tapi dia mengundurkan diri karena jarak rumahnya terlalu jauh,” ujar Arif.
Ia menjelaskan, penurunan jumlah siswa baru terjadi sejak 7 hingga 8 tahun terakhir. Jumlah peserta didik semakin sedikit setiap tahunnya. Arif mengenang masa ketika sekolah ini menjadi primadona dengan jumlah murid yang melimpah.
“Dulu dalam satu angkatan bisa mencapai dua rombongan belajar. Sekarang untuk kelas VII hanya ada 7 murid,” katanya lirih.
Sekolah itu kini memiliki 10 siswa kelas VIII dan 13 siswa kelas IX. Saat MPLS hari pertama, pihak sekolah memutuskan menggabungkan seluruh siswa di satu ruangan. Mereka ingin para murid saling mengenal dan membaur tanpa sekat perbedaan.
“MPLS kami jadikan satu dulu di ruangan ini. Kami menyampaikan materi pengenalan sekolah aman, nyaman tanpa perundungan,” jelas Arif.
Mayoritas siswa SMP PGRI Playen berasal dari luar Jawa. Banyak di antara mereka berstatus santri pondok pesantren dan berasal dari Maluku, Sulawesi, serta daerah lainnya.
Sekolah itu hanya memiliki 5 guru tetap. Saat menghadapi kekurangan tenaga pengajar, pihak sekolah mengambil guru tambahan dari SMA PGRI yang berada di kompleks bangunan yang sama.
Fasilitas Sekolah
Bangunan sekolah pun menua dimakan waktu. Beberapa bagian terlihat rusak dan kusam. Dinding mengelupas dan lantai menghitam menandai minimnya anggaran perbaikan.
“Kalau dari segi gedung memang ada kerusakan. Anggaran sekolah minim jadi perbaikan tidak bisa dilakukan,” ungkap Arif.
Meski demikian, SMP PGRI Playen tetap memiliki fasilitas dasar seperti laboratorium IPA, komputer, dan perpustakaan. Arif menegaskan sekolah tetap berusaha memberikan pendidikan berkualitas meski sarana terbatas.
Ia berharap Dinas Pendidikan Gunungkidul memberi perhatian khusus kepada sekolah swasta. Menurutnya, jika pemerintah hanya fokus pada sekolah negeri, nasib sekolah swasta akan kian terpinggirkan.
“Harapan kami ada kebijakan untuk sekolah swasta, misalnya pembatasan rombel di sekolah negeri dan pembatasan pendirian sekolah baru di wilayah yang sudah banyak sekolah,” tegas Arif.
Ia menutup dengan nada pilu. Di wilayah Playen saja terdapat 4 SMP negeri dan 2 SMP swasta baru. Keberadaan sekolah baru itu memotong aliran calon murid ke sekolahnya yang sudah puluhan tahun berdiri.
Hari pertama MPLS di SMP PGRI Playen bukan sekadar perkenalan lingkungan sekolah. Ia menjadi saksi perjuangan sebuah sekolah tua mempertahankan denyut di tengah terpaan zaman dan derasnya persaingan sekolah negeri yang terus menggulung sekolah swasta kecil di pelosok Gunungkidul. (ef linangkung)