
TUGUJOGJA – Kepolisian memastikan tidak ada unsur suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dalam kasus perusakan sejumlah makam di Bantul dan Kota Yogyakarta. Berdasarkan pemeriksaan awal, pelaku menunjukkan indikasi gangguan kejiwaan meskipun belum menjalani pemeriksaan psikologis resmi.
Kapolsek Kotagede, AKP Basungkawa, mengungkapkan bahwa pelaku, remaja 16 tahun berinisial ANFS, berstatus pelajar SMP. Kakak kandung pelaku juga memiliki riwayat gangguan kejiwaan dan sedang menjalani pengobatan jalan.
Gandeng Ahli Kejiwaan
Polisi mencatat bahwa pelaku kerap tidur di luar rumah dan beraktivitas hingga larut malam. Untuk mendalami kondisi kejiwaan pelaku, pihak kepolisian berencana menggandeng ahli kejiwaan.
“Pelaku tidak tidur di rumah, lebih sering keluyuran dan tidur di tempat seadanya seperti gubuk. Pagi pulang, ganti baju, lalu berangkat sekolah. Ayahnya sudah meninggal, sekarang tinggal bersama ibu dan dua saudara, salah satunya menjalani pengobatan kejiwaan,” jelas AKP Basungkawa, Selasa (20/5).
Kepolisian menegaskan bahwa motif perusakan tidak berkaitan dengan kebencian terhadap kelompok tertentu. Pelaku bertindak sendiri dan tidak terafiliasi dengan organisasi ataupun paham tertentu.
“Berdasarkan penyelidikan, kami tidak menemukan indikasi motif SARA. Ini murni tindakan individu. Pelaku menghancurkan satu makam keramik menggunakan batu besar dan tangan kosong,” lanjut AKP Basungkawa dalam konferensi pers di Mapolsek Kotagede.
Penyidik menjerat ANFS dengan Pasal 179 KUHP tentang penodaan atau perusakan makam dan tanda peringatan, yang ancamannya mencapai satu tahun empat bulan penjara. Polisi menyebut pelaku mengakui telah merusak nisan di tiga lokasi berbeda: TPU Baluwarti (Kotagede), TPU Ngentak (Banguntapan), dan pemakaman di Gedongkuning.
Perusak Makam di Bantul Jalani Asesmen
Saat ini, polisi menitipkan pelaku di Balai Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Remaja (BPRSR) Yogyakarta untuk menjalani asesmen dan proses hukum lebih lanjut. AKP Basungkawa menyatakan bahwa pihaknya masih mendalami motif pelaku secara menyeluruh.
Sementara itu, Kepala Seksi Humas Polres Bantul, AKP I Nengah Jeffry, menyebut penanganan kasus ini menggunakan pendekatan restoratif justice. Polisi memutuskan menempuh jalur diversi karena pelaku masih di bawah umur dan ancaman hukuman tergolong ringan.
“Diversi dilakukan sesuai UU Perlindungan Anak. Penyelesaian perkara mengutamakan pemulihan dan edukasi, melibatkan keluarga pelaku, korban, serta tokoh masyarakat,” kata AKP Jeffry.
Kepolisian juga mengimbau masyarakat agar meningkatkan pengawasan terhadap anak-anak dan remaja di lingkungan masing-masing. Polisi meminta warga tidak mudah percaya pada isu-isu tak terverifikasi, khususnya yang berkaitan dengan SARA.
“Menjaga ketenangan dan keamanan lingkungan adalah tanggung jawab bersama. Bila melihat anak-anak dengan perilaku menyimpang atau aktivitas mencurigakan, segera laporkan ke pihak berwajib,” tegas AKP Jeffry. (ef linangkung)