
TUGUJOGJA – Di balik wajah renta Mbah Tupon yang lelah menanti keadilan, ada kisah pilu seorang lansia buta huruf dari Ngentak, Bangunjiwo, Kasihan, yang menjadi korban kejamnya praktik mafia tanah.
Tak hanya berjuang melawan usia, Mbah Tupon juga harus menghadapi sistem yang sempat membungkam suaranya. Namun kini, harapan mulai menyala.
Kasusu Mbah Tupon
Bupati Bantul, Abdul Halim Muslih, memastikan bahwa kasus ini telah mencapai Kejaksaan Tinggi dan segera dilimpahkan ke pengadilan.
“Proses kasusnya Mbah Tupon hari ini sudah sampai ke Kejaksaan dari Polda, kemudian ke Kejaksaan Tinggi, dan sebentar lagi ke Pengadilan,” ujar Bupati saat mengunjungi kediaman Mbah Tupon untuk kedua kalinya, Jumat (9/5/2025).
Kunjungan ini bukan hanya seremoni, tapi wujud nyata komitmen Pemkab Bantul dalam mengawal hak warga yang terampas. Bupati hadir tidak hanya membawa dukungan moril.
Namun, ia juga memberi bantuan materiil, serta menjamin bahwa tim advokasi hukum Pemkab akan terus mendampingi Mbah Tupon hingga akhir proses hukum.
“Saat ini kami sekadar bersilaturahmi, memastikan kondisi kesehatan Mbah Tupon dan keluarga. Alhamdulillah, mereka dalam keadaan baik sehingga siap menghadapi proses hukum yang akan datang,” lanjutnya.
Kasus Mafia Tanah Lain
Namun, kisah tragis Mbah Tupon ternyata bukan satu-satunya. Di balik pintu-pintu rumah lain, ada korban serupa. Bupati mengungkap telah menemukan dua kasus serupa yang menimpa Bryan Manov Qrisna Huri, warga Jadan, Tamantirto, Kasihan, serta seorang warga dari Panggungharjo, Sewon.
“Ada tiga kasus, termasuk Mbah Tupon, yang polanya mirip. Semuanya sudah kami laporkan ke Polda. Insyaallah kasus-kasus ini akan diselesaikan satu demi satu,” kata Bupati tegas.
Pemkab Bantul tak tinggal diam. Kepala Bagian Hukum, Suparman, mengungkapkan bahwa ketiga korban diduga menjadi sasaran dari sindikat mafia tanah yang sama. Modusnya nyaris identik—menyasar warga lemah, mengaburkan batas legalitas, dan mengalihkan hak tanah tanpa persetujuan yang sah.
“Modelnya hampir sama, apalagi antara Mbah Tupon dan Bryan. Yang dari Panggungharjo memang jual-beli, tapi pelakunya kuat dugaan berasal dari kelompok yang sama,” ungkap Suparman.
Dari balik rumah sederhana itu, Heri Setiawan—anak Mbah Tupon—mengucapkan rasa terima kasihnya. Ia menyebut pendampingan hukum dari Pemkab menjadi kekuatan utama keluarganya dalam menghadapi tekanan kasus ini.
“Pendampingan dari Pemkab sangat membantu. Kami berharap para penegak hukum bisa berlaku adil dan bijaksana,” ucap Heri dengan mata berkaca.
Kini, perjuangan Mbah Tupon menjadi simbol perlawanan rakyat kecil terhadap praktik mafia tanah yang merampas hak hidup. Ia bukan hanya seorang nenek yang ditipu, tapi suara dari mereka yang selama ini dibungkam.
Pemerintah, lewat komitmennya, punya tanggung jawab moral untuk memastikan satu hal, yakni keadilan tidak boleh kalah oleh kelicikan. (ef linangkung)