
TUGUJOGJA – Puspa, perempuan muda asal Yogyakarta, membuka kisah kelamnya saat menjadi korban perdagangan manusia di Kamboja.
Ia menatap kosong ketika menceritakan bagaimana nyawanya nyaris melayang di negeri orang. Puspa mengaku ia merasakan hidupnya digenggam para penipu tanpa belas kasih.
Puspa terjebak dalam lingkaran mafia setelah ia mencari pekerjaan melalui Facebook. Ia memposting kemampuannya di media sosial. Seorang wanita menanggapi postingan tersebut dan menawarinya pekerjaan di Macau.
“Saya tukeran nomor WhatsApp, lalu intens komunikasi satu bulan. Kita telepon, WhatsApp, bahkan video call,” tutur Puspa pada Jumat, 18 Juli 2025.
Wanita itu mengaku memiliki restoran di Thailand dan menawarkan Puspa posisi staf dapur bergaji 900 dolar AS. Ia menegaskan bahwa dokumen kerja dan izin tinggal akan diurus setelah Puspa tiba di Thailand.
Namun, tiket pesawat yang Puspa terima justru bertujuan ke Ho Chi Minh. Puspa sempat protes, namun sang penyalur menenangkannya dengan dalih proses administrasi lebih mudah jika transit di Vietnam. Ia akhirnya berangkat.
Setibanya di Ho Chi Minh, seorang pria menjemput Puspa menggunakan motor. Pria itu membawanya melintasi perbatasan menuju Kamboja tanpa sepengetahuannya.
Puspa baru menyadari ia dijual ketika memasuki imigrasi Kamboja dan kehilangan kontak dengan sang penyalur.
Di pasar Kamboja, Puspa menyaksikan pria Cina menyerahkan uang kepada orang yang membawanya. Perempuan ini baru sadar, dia telah diperjualbelikan.
Mereka menggiringnya ke gedung apartemen dan memasukkannya ke ruangan sempit berisi 45 pria yang menatap layar komputer sepanjang hari.
Ia bertanya pada salah satu orang di sana. Jawaban mereka membuat lututnya lemas. Karena ternyata pekerjaan yang harus dia lakukan jauh dari janji yang selama ini dia dapat.
“Dia bilang, kita semua di sini bekerja sebagai scammer atau penipu online,” ungkapnya.
Puspa mengaku tidak mengerti dunia digital. Lulusan SMP itu hanya ingin bekerja halal di luar negeri. Namun untuk bertahan hidup, ia terpaksa menipu sesama orang Indonesia.
“Mereka bilang, kamu tipulah banyak orang Indonesia. Kamu tidak akan bisa dipenjara. Kalau tidak menipu, kamu akan kena denda atau hukuman,” ujar Puspa menirukan ancaman para mafia.
Ia bekerja dalam tim dengan sistem terstruktur. Leader membagi link ke resepsionis dan CS. CS bertugas menawarkan iklan dan memberikan komisi awal Rp18 ribu – Rp22 ribu kepada calon korban.
Korban diminta mengunduh aplikasi di luar Play Store, lalu melakukan top up bertahap mulai Rp110 ribu hingga Rp18 juta. Jika korban ingin menarik dana, mafia akan meminta tambahan Rp7 juta – Rp100 juta dengan berbagai alasan teknis.
“Mereka menargetkan mahasiswa dan ibu rumah tangga. Penipuan lewat Telegram pakai nomor Indonesia. Jadi seolah-olah amanah,” jelasnya.
Puspa bekerja dari jam 9 pagi hingga 12 malam. Ia menerima denda $10 (Rp150 ribu) jika terlambat. Pergi ke toilet lebih dari enam kali didenda $10.
Tidur sebentar didenda $50 (Rp750 ribu). Jika tidak mencapai target Rp300 juta per bulan, ia tidak menerima bayaran sepeser pun.
“Kalau kita tidak mencapai target, kita disetrum, dipukuli satu kantor, atau dilempar dari lantai tiga. Teman saya pernah dilempar seperti itu,” ucapnya sambil menunduk.
Puspa mengaku makanannya pun tidak layak. Ia dipaksa makan saren, katak, atau babi. Mereka harus memakannya meskipun tahu itu haram.
“Kami tidak punya pilihan lain,” katanya lirih.
Ketakutan terbesar para pekerja scammer ialah “dijual” ke perusahaan lain. Mereka harus membayar Rp15 juta sebagai denda.
Jika tidak mampu, hukuman fisik menjadi ancaman. Puspa akhirnya memberanikan diri menghubungi KBRI. Namun karena statusnya sebagai pekerja ilegal, proses pemulangannya tidak mudah.
Petugas imigrasi Kamboja menahannya satu bulan sambil menunggu deportasi. Akhirnya, ia berhasil pulang ke Indonesia dan langsung mendapat pendampingan dari BP3MI dan Dinas Sosial DIY.
“Terima kasih Dinas Sosial. Saya dibantu semuanya dari mental, pangan, dan kesehatan. Saya juga dibantu psikiater untuk memulihkan trauma,” ujar Puspa.
Kini, Puspa ingin melupakan masa kelamnya. Ia bercita-cita membuka usaha kuliner di kampung halaman. Dia ingin membahagiakan keluarga tanpa harus kerja di luar negeri.
“Tolong jangan percaya pada pekerjaan instan di luar negeri. Susah dulu tidak apa-apa, nanti kita bisa menikmati hasilnya dengan tenang,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
Pegawai Dinas Sosial DIY, Widianto, menjelaskan lembaganya memiliki enam balai perlindungan sosial bagi lansia, disabilitas, remaja, perempuan, dan anak. Mereka juga menangani pekerja migran bermasalah dan korban perdagangan manusia.
“Kami menyediakan bimbingan mental, sosial, keagamaan, fisik, serta keterampilan. Ada empat keterampilan utama: olahan pangan, membatik, tata rias, serta menjahit dan bordir,” jelasnya.
Widianto menambahkan proses rehabilitasi berlangsung tiga bulan hingga tiga tahun sesuai Permensos No. 5 Tahun 2017. Mereka juga memberi kesempatan magang, kunjungan perusahaan, dan sertifikasi keterampilan agar para korban dapat mandiri.