
TUGUJOGJA – Pemerintah resmi menetapkan Geopark Nasional Jogja sebagai kawasan cagar alam geologi dengan 15 geosite, 5 biosite, dan 4 culturesite. Namun, keputusan ini menimbulkan tanya besar.
Kabupaten Gunungkidul, yang selama ini identik dengan kekayaan geologi dan bentang karst legendaris, justru tak menyumbang satu pun situs.
Pemerintah Pusat melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyerahkan Surat Keputusan Menteri ESDM No. 171.K/GL.01/MEM.G/2025 kepada Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X, Selasa, 29 Juli 2025, di Gedhong Wilis, Kompleks Kepatihan.
Penyerahan SK ini menandai babak baru pengelolaan kekayaan geologi Yogyakarta secara resmi dan terstruktur.
Geopark Nasional Jogja kini menaungi 15 situs warisan geologi atau geosite, yang tersebar di empat wilayah administratif: Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, dan Kota Yogyakarta. Daftar ini mengejutkan banyak pihak karena tak satu pun lokasi berasal dari Gunungkidul.
Padahal, Gunungkidul selama ini dikenal luas dengan kawasan karst Pegunungan Sewu, gua-gua eksotis, pantai-pantai tebing, serta kekayaan formasi batuan purba yang tak ditemukan di daerah lain.
Kepala Badan Geologi: Semua Unsur Harus Dikemas Sebagai Produk Edukasi dan Konservasi
Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM, Dr. Ir. Muhammad Wafid A.N., M.Sc., menjelaskan bahwa pengelolaan Geopark Jogja akan menggabungkan tiga elemen utama: geoheritage, biodiversity, dan cultural diversity. Ketiganya akan dikemas menjadi satu kesatuan produk edukatif sekaligus konservatif untuk menjamin keberlangsungan situs-situs tersebut.
Wafid menegaskan bahwa Pemerintah Pusat berencana membawa Geopark Nasional Jogja menuju pengakuan internasional sebagai UNESCO Global Geopark (UGG).
“Insya Allah, nanti bersama Ngarsa Dalem, para bupati, dan wali kota, kita siapkan ke UNESCO. Termasuk penataan pengelolaan yang akan kita rapikan sejak sekarang,” ujarnya.
Sri Sultan Sambut Baik SK ESDM, Soroti Tambang dan Penataan Akses Wisata
Sri Sultan menyambut SK ini dengan penuh harap. Ia menilai penetapan Geopark Jogja mampu memberikan kepastian hukum, baik bagi masyarakat maupun pemerintah daerah, terutama dalam hal pelestarian versus eksploitasi tambang.
“Dengan keputusan ini, kami di daerah punya kepastian dalam sistem manajemen. Mana yang harus dilestarikan dan mana yang bisa ditambang. Masyarakat pun tahu batasannya,” ujar Sri Sultan.
Ia menegaskan bahwa kawasan yang telah ditetapkan sebagai geosite harus bebas dari aktivitas ilegal. Pemerintah harus menjaga jalur wisata agar tidak menabrak prinsip konservasi, dan masyarakat perlu sadar bahwa pelestarian geosite adalah investasi warisan generasi.
Gumuk Pasir Masuk Daftar, Dilarang Digunakan Bebas
Salah satu lokasi geosite yang paling mencolok adalah Gumuk Pasir Parangtritis. Dengan penetapan ini, Pemerintah menutup kemungkinan penggunaan bebas kawasan tersebut yang selama ini dimanfaatkan untuk bermain sandboarding atau aktivitas wisata tanpa pengawasan.
“Gumuk Pasir itu unik, satu-satunya di Indonesia. Kalau ada bangunan tinggi, pola angin berubah, dan pola pasir hilang. Itu bisa menjadi pusat studi nasional. Jadi harus dijaga,” tegas Sri Sultan.
Ia menyoroti bahwa pola-pola gelombang pasir terbentuk secara alami dan sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Maka, pembangunan dan aktivitas wisata tanpa kendali bisa menghancurkan keunikan tersebut.
Gunungkidul Terpinggirkan: Kekayaan Karst Tak Masuk Daftar
Muncul kritik dari masyarakat dan pemerhati lingkungan. Banyak pihak mempertanyakan mengapa Gunungkidul, yang memiliki Pegunungan Sewu dan formasi karst dunia, tidak masuk daftar geosite dalam Geopark Nasional Jogja.
Para pemerhati menyayangkan ketidakhadiran wilayah seperti Gua Pindul, Gua Jomblang, dan Gunung Api Purba Nglanggeran, yang selama ini menjadi ikon geowisata Gunungkidul. Terlebih, Nglanggeran sebelumnya telah masuk UNESCO Global Geopark Gunung Sewu—bersama Pacitan dan Wonogiri.
“Ini keputusan aneh. Gunungkidul itu raksasa geologi DIY. Kenapa justru tidak masuk?” tanya salah satu warga dan pelaku wisata karst di Panggang.
Kementerian ESDM belum memberikan penjelasan teknis mengapa Gunungkidul tak masuk daftar. Namun, sumber internal menyebutkan, pembagian geosite dilakukan dengan mempertimbangkan tumpang tindih wilayah antar-geopark, mengingat Gunungkidul sudah terikat dalam jaringan UGG Gunung Sewu yang melibatkan Pacitan dan Wonogiri.
Ke Depan, Siapa Menentukan Arah?
Pemerintah Daerah DIY, dalam hal ini melalui Bappeda dan Dinas Energi Sumber Daya Mineral DIY, diharapkan segera berkoordinasi untuk merancang pengelolaan terpadu antar-geopark.
Jangan sampai Gunungkidul kehilangan momentum pembangunan berkelanjutan hanya karena batas administratif geopark baru.
“Warisan geologi bukan sekadar objek wisata. Ia adalah memori bumi yang harus kita jaga. Dan kalau kita rusak, kita kehilangan bukan hanya peluang ekonomi, tapi sejarah peradaban,”ujar Sultan.