
TUGUJOGJA – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Yogyakarta menjatuhkan vonis dua tahun penjara kepada Lurah nonaktif Sampang, Suharman, dalam kasus penyalahgunaan Tanah Kas Desa (TKD) untuk proyek pengurukan jalan tol Jogja-Solo.
Majelis hakim memutuskan bahwa Suharman terbukti melanggar Pasal 33 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Ia dinyatakan bersalah karena memberikan izin penambangan tanah kas desa tanpa sepengetahuan Gubernur DIY dan tanpa prosedur resmi.
Hakim menghukum Suharman dengan pidana penjara selama dua tahun, dikurangi masa tahanan yang telah dijalani. Selain itu, ia wajib membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp15 juta atau subsider satu bulan kurungan penjara, serta biaya perkara sebesar Rp5.000.
Majelis hakim menyatakan dakwaan tambahan atas Pasal 11 UU Tipikor tidak terbukti.
“Jaksa Penuntut Umum menyatakan pikir-pikir atas putusan ini, dan memiliki waktu tujuh hari untuk memutuskan apakah akan menerima atau mengajukan banding,” ujar Hakim Ketua pada Selasa, 27 Mei 2025.
Kasus Penyalahgunaan TKD dan Kerugian Negara
Vonis ini lebih ringan dibanding tuntutan JPU sebelumnya yang menuntut Suharman dihukum dua tahun penjara, denda Rp100 juta, serta subsider enam bulan kurungan berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 11 UU Tipikor.
Kasus ini menyeret dua tersangka. Selain Suharman, Direktur perusahaan pelaksana penambangan, Turisti, masih menjalani proses persidangan di Pengadilan Tipikor Yogyakarta. Saat ini, persidangan Turisti masih dalam tahap pemeriksaan saksi.
Sebelumnya, Kejaksaan Negeri Gunungkidul menemukan adanya penyalahgunaan TKD di Kalurahan Sampang, Kapanewon Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul. Berdasarkan hasil audit Inspektorat Daerah Gunungkidul, kerugian negara akibat penambangan ilegal TKD mencapai Rp506.701.676.
Kerugian tersebut dihitung dari volume tanah yang ditambang sebanyak 24.185 meter kubik dengan harga satuan Rp46.500 per meter kubik.
Petugas penyidik menemukan berbagai barang bukti, termasuk surat perjanjian, faktur, peta kalurahan, serta buku rekening milik warga yang diduga sebagai penambang. Mereka juga menyita dokumen permohonan fiktif yang dibuat pihak kalurahan seolah-olah warga meminta tanah untuk urug.
“Permohonan tersebut baru dibuat setahun setelah tanah kas desa ditambang. Nyatanya, warga tidak pernah meminta atau menerima tanah tersebut,” ungkap Kasi Pidsus Kejaksaan Negeri Gunungkidul.
Kasus penyalahgunaan TKD ini menjadi sorotan karena melibatkan aset desa yang seharusnya dikelola untuk kepentingan masyarakat, bukan proyek infrastruktur tanpa izin resmi.