
TUGUJOGJA — Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, kembali menggugah semangat kebangsaan dalam orasi budaya monumental yang menandai 200 tahun meletusnya Perang Jawa.
Dalam pidato yang menggema di pelataran sejarah, Sri Sultan menegaskan bahwa Perang Jawa bukan sekadar lembaran konflik bersenjata, tetapi simbol perlawanan agung terhadap ketidakadilan dan penjajahan.
Dengan suara penuh keyakinan, Sri Sultan membuka orasinya melalui tema yang menggugah: “Warisan Abadi Sang Pangeran: Menafsir Ulang Perang Jawa sebagai Inspirasi bagi Pembangunan Yogyakarta dan Penguatan Identitas Nasional.”
Ia mengajak seluruh rakyat Indonesia meneladani semangat Pangeran Diponegoro—seorang pemimpin yang menjadikan nilai-nilai spiritual dan moral sebagai fondasi perjuangan.
“Mari kita jadikan semangat perjuangan Pangeran Diponegoro sebagai sumber inspirasi untuk membangun masa depan Indonesia yang kokoh berakar pada budaya dan keadaban,” tegas Sri Sultan, memecah keheningan dengan ketegasan moral pada Senin, 28 Juli 2025.
Dalam nada yang semakin menggetarkan, Sri Sultan menyingkap kembali hakikat perjuangan Pangeran Diponegoro. Ia menjelaskan bahwa sang pangeran tidak pernah mengangkat senjata demi takhta, melainkan karena suara hati yang terpanggil melawan ketidakadilan kolonial.
“Diponegoro tidak mengangkat senjata untuk merebut kekuasaan. Ia bergerak karena hatinya terpanggil melawan ketidakadilan. Perjuangannya merupakan perlawanan yang berbasis nilai, bukan semata kekuatan militer,” ujarnya.
Sri Sultan menilai bahwa perjuangan Diponegoro mencerminkan integritas, spiritualitas, dan keberpihakan kepada rakyat kecil. Dengan meneladani prinsip Hamêmayu Hayuning Bawana, Pangeran Diponegoro menjaga keindahan hidup dunia dalam kerangka budaya yang luhur.
Relevansi Spirit Diponegoro untuk Masa Kini
Dalam bagian orasinya yang paling reflektif, Sri Sultan menyampaikan tiga pelajaran utama dari Perang Jawa yang masih relevan dengan realitas kontemporer bangsa.
Pertama, ia menekankan pentingnya pemimpin bermoral yang menjunjung keadilan dan spiritualitas. Kedua, ia menyerukan pembangunan yang berpijak pada budaya, bukan sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi. Ketiga, ia mengingatkan pentingnya solidaritas sosial dan gotong royong lintas golongan.
“Tanpa pondasi budaya, pembangunan akan kehilangan arah dan identitas,” ujar Sri Sultan.
Ia menghidupkan kembali semangat kolaborasi dalam Perang Jawa—ketika bangsawan, ulama, santri, dan rakyat jelata bersatu dalam satu gerakan. Gotong royong, menurutnya, bukan hanya warisan sosial, tetapi kunci mengatasi tantangan bangsa masa kini.
“Perjuangan Diponegoro berhasil karena ia tidak sendiri. Seluruh elemen masyarakat bersatu dalam satu irama: melawan ketidakadilan demi harga diri bangsa,” jelasnya.
Dengan penuh penghargaan, Sri Sultan mengangkat nama Ratu Ageng, buyut Pangeran Diponegoro, sebagai figur penting dalam pembentukan karakter sang pahlawan. Ia menggambarkan bagaimana sosok perempuan tangguh ini memberikan didikan spiritual dan nasionalisme sejak kecil kepada Diponegoro.
“Sejarah bangsa ini tidak pernah lahir dari tangan laki-laki saja. Di balik pemimpin besar, berdiri perempuan bijak yang membentuknya sejak dini,” ujar Sri Sultan.
Orasi budaya ini menjadi puncak dari rangkaian peringatan 200 tahun Perang Jawa yang berlangsung di berbagai wilayah. Panitia pelaksana bertekad menghidupkan kembali semangat spiritualitas, nasionalisme, dan kebudayaan yang diwariskan oleh Pangeran Diponegoro.
Kepala Perpustakaan Nasional RI, E. Aminudin Aziz, menguatkan pesan Sri Sultan. Ia menyerukan agar seluruh rakyat menjadikan momentum ini sebagai refleksi nasional, bukan sekadar ritual sejarah.
“Nilai-nilai spiritual, patriotik, dan persatuan yang diwariskan oleh Pangeran Diponegoro harus menjadi cermin kita dalam menjawab tantangan bangsa saat ini,” tutur Aminudin.
Di akhir orasi, Sri Sultan memberikan peringatan tajam tentang bahaya globalisasi yang bisa menggerus jati diri bangsa. Ia menegaskan bahwa bangsa Indonesia hanya akan kuat jika berakar pada budaya dan memiliki visi kebangsaan yang kokoh.
“Spirit Diponegoro mengajarkan kita bahwa kemajuan tanpa akar budaya ibarat pohon tanpa akar: mudah tumbang. Mari kita lanjutkan perjuangan ini, dengan kebijaksanaan lokal dan cakrawala kebangsaan yang terang,” pungkas Sri Sultan.