
TUGUJOGJA — Angin pagi menyapu lembut Taman Budaya Embung Giwangan, Selasa (5/8/2025). Suasana terasa berbeda. Pukul 10.00 WIB, tabuh genderang dan lenggak-lenggok empat penari membuka tirai FESTA 2025.
Masyarakat Yogyakarta menyaksikan langsung peristiwa budaya monumental yang menggema dari pusat kota hingga ke penjuru kampung, Festival Jogja Kota resmi bermula
Pembukaan Festival
Pemerintah Kota Yogyakarta membuka acara ini dengan penuh semangat. Mereka menggabungkan unsur tradisi, semangat kolaborasi lintas wilayah, dan kecintaan pada budaya dalam satu panggung besar yang bernama FESTA.
Tahun ini, FESTA tak hanya jadi pesta rakyat, tetapi juga menjadi bagian resmi dari Rakernas XI Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI). Total 68 anggota JKPI dari berbagai kota di Indonesia akan hadir.
Empat gadis penari membawakan tarian bertema Kumandhang. Mereka menggoyangkan tubuh secara lembut dan ekspresif. Gerak mereka mengisyaratkan doa, harapan, sekaligus seruan kepada leluhur agar menjaga perayaan budaya ini tetap hidup.
Gerakan mereka memukau para undangan dan tamu kehormatan, termasuk Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, dan Olahraga Provinsi Kalimantan Tengah, yang hadir mewakili semangat gotong royong antardaerah.
Peserta FESTA 2025
Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, Yetti Martanti, menyampaikan bahwa FESTA 2025 bukan sekadar perayaan budaya, tetapi juga panggilan sejarah, panggilan hati.
Pihaknya memilih tema Kumandhang untuk menyuarakan kembali nilai-nilai luhur budaya Yogyakarta kepada generasi sekarang dan masa depan.
Yetti menyebutkan bahwa festival ini melibatkan 14 kemantren. Mereka semua berpartisipasi aktif dan mewakili empat kawasan cagar budaya utama, yaitu Kraton, Pakualaman, Kotagede, dan Kotabaru.
Ia menjelaskan bahwa masing-masing kawasan memiliki peran vital dalam membentuk identitas Yogyakarta.
- Kraton menampilkan spiritualitas Jawa yang mendalam.
- Pakualaman menunjukkan keteguhan dalam mempertahankan tradisi.
- Kotagede menghidupkan kembali denyut kota tua yang penuh sejarah.
- Kotabaru merepresentasikan keberagaman dan pluralisme perkotaan.
Yetti menekankan bahwa kumandhang bukan sekadar tema. Ia menyebut bahwa ojo lali kumandhang adalah ajakan untuk tidak melupakan nilai-nilai leluhur. Ia menegaskan bahwa filosofi gotong royong, harmoni, dan kesetiaan pada warisan budaya harus terus dikumandangkan.
“Dari leluhurlah kita dibangun bersama, dan dari nilai itulah kita harus melangkah maju,” katanya.
FESTA 2025 tak hanya tampil di atas panggung. Festival ini menempatkan booth Warung Kot” di berbagai titik strategis. Warung-warung ini menghadirkan kuliner khas dan kerajinan dari masing-masing kawasan.
Warga dan wisatawan bisa mencicipi makanan tradisional, berdialog dengan pelaku budaya, dan menikmati pertunjukan musik kampung yang menghadirkan seniman-seniman lokal. (ef linangkung)