
TUGUJOGJA – Di tengah peningkatan kunjungan wisatawan mancanegara (wisman), sektor perhotelan berbintang di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) justru mengalami tekanan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) DIY menunjukkan bahwa Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel berbintang pada Juni 2025 hanya mencapai 53,86 persen.
Angka tersebut tidak hanya turun 0,08 poin dibandingkan Mei 2025, tetapi juga mengalami penurunan sebesar 6,71 poin dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPS DIY, Herum Fajarwati, menyebut kondisi ini sebagai fenomena ironis. “Ini ironis. Saat jumlah wisman justru naik, hotel berbintang malah kesulitan menjaga okupansi,” ujarnya.
Secara khusus, hotel bintang 4 mencatat penurunan tertajam dengan TPK yang anjlok 2,67 poin dalam waktu satu bulan. Sementara itu, hotel bintang 5 menunjukkan ketahanan yang cukup baik.
TPK hotel premium ini naik 6,09 poin menjadi 63,52 persen, menandakan masih adanya permintaan dari kalangan wisatawan berdaya beli tinggi, meski belum cukup menutupi kekosongan di kelas menengah.
Hotel Non Bintang Jadi Pilihan Baru Wisatawan
Sebaliknya, hotel non bintang mengalami pertumbuhan yang signifikan. TPK-nya meningkat sebesar 1,14 poin menjadi 25,56 persen. Meski lebih rendah dibanding hotel berbintang, tren ini menunjukkan pergeseran preferensi wisatawan, terutama yang mencari penginapan dengan harga terjangkau.
“Hotel dengan 25–40 kamar mencatat TPK tertinggi di kategori non bintang, yakni mencapai 32,69 persen,” kata Herum.
Pertumbuhan tersebut didorong oleh minat wisatawan terhadap akomodasi lokal seperti homestay, hotel kecil, dan penginapan berbasis budaya. Tren ini memperlihatkan bagaimana wisatawan kini lebih mempertimbangkan aspek ekonomis serta pengalaman yang otentik daripada sekadar fasilitas mewah.
Dalam hal lama menginap, wisatawan mancanegara rata-rata tinggal lebih lama daripada wisatawan domestik. Di hotel berbintang, rata-rata lama menginap wisman mencapai 2,38 malam, sementara tamu domestik hanya 1,49 malam. Namun, total tamu hotel berbintang pada Juni 2025 justru menurun 6,10 persen menjadi 457.911 orang.
Peningkatan 33,13 persen jumlah tamu asing ternyata belum cukup mengimbangi penurunan 7,50 persen tamu domestik. Penurunan tersebut menjadi tekanan tambahan bagi sektor hotel berbintang yang selama ini sangat bergantung pada pasar dalam negeri.
Situasi berbeda terjadi di hotel non bintang yang justru mencatat kenaikan total tamu sebesar 1,40 persen. Lonjakan tamu asing sebesar 4,50 persen di kategori ini menunjukkan bahwa akomodasi ekonomis mulai menjadi pilihan utama para pelancong mancanegara.
“Pergerakan ini harus dicermati. Wisatawan tidak lagi hanya memikirkan kemewahan, tetapi juga nilai ekonomis dan kedekatan dengan budaya lokal,” ucap Herum.
Ketua DPD Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY, Deddy Eryono, menyoroti bahwa kebijakan larangan studi tour dari beberapa daerah menjadi salah satu penyebab utama penurunan okupansi hotel berbintang. Kebijakan ini menghapus segmen pasar pelajar dan keluarga yang selama ini menopang permintaan.
“Selain larangan studi tour, kondisi perekonomian yang melambat juga menambah beban berat. Banyak keluarga menunda perjalanan. Mereka memilih menginap di tempat lebih murah, atau bahkan tidak menginap sama sekali,” ujar Deddy.
Ia menambahkan bahwa hotel bintang saat ini tidak hanya bersaing antar kelas, tetapi juga bersaing dengan alternatif akomodasi digital seperti homestay berbasis aplikasi dan vila mandiri.