
TUGUJOGJA – Rabu malam, 7 Mei 2025, langit Alun-alun Wonosari tampak hitam biasa, namun semilir angin membawa bisikan kegelisahan.
Di sisi barat alun-alun, beberapa spanduk tergantung penuh makna: jeritan sunyi para Pedagang Kaki Lima (PKL) yang menolak dipindahkan dari tempat mereka menggantungkan hidup.
Salah satu spanduk paling mencolok bertuliskan lantang, “Ora iso njaluk tulung sek berkuasa, yo jaluk tulung karo seng kuoso.” Sebuah kalimat getir, penuh kepasrahan sekaligus perlawanan.
Rencana Pemerintah Kabupaten Gunungkidul untuk merelokasi para PKL dari kawasan barat Alun-alun Wonosari ke Pasar Besole, Baleharjo, Wonosari, memicu gelombang protes yang mengkristal dalam bentuk spanduk-spanduk tersebut.
Bagi para pedagang, alun-alun bukan sekadar tempat berdagang, ia adalah napas, denyut nadi ekonomi yang telah menghidupi mereka bertahun-tahun.
Suara PKL: Antara Harapan dan Ketakutan
Sugiyatmo, salah satu perwakilan PKL, mengungkapkan kekecewaannya terhadap kebijakan relokasi yang dinilainya tergesa dan tidak memihak rakyat kecil.
“Kami sangat prihatin. Tiba-tiba saja ada kabar kami akan dipindahkan ke Baleharjo. Padahal, kami semua tahu bahwa Pasar Besole itu tidak efektif untuk berjualan,” ungkap Sugiyatmo dengan nada getir.
Bagi para pedagang, relokasi bukan sekadar pindah tempat. Itu berarti kehilangan pelanggan, kehilangan penghasilan, bahkan kehilangan harapan.
“Kebijakan ini membuat kami seakan dimatikan secara perlahan. Kalau benar-benar jadi dipindahkan, itu sama saja rakyat kecil dijadikan korban aturan dan kebijakan yang tidak berpihak,” imbuhnya.
Pemerintah Kabupaten Gunungkidul sendiri berencana memindahkan sebanyak 81 PKL sebagai bagian dari program penataan kota. Lokasi baru di kawasan Besole dinilai representatif dan dirancang untuk memberikan ruang usaha yang lebih tertib dan layak.
Proses relokasi ini melibatkan kolaborasi lintas Organisasi Perangkat Daerah (OPD), seperti Dinas PU, Dishub, Satpol PP, dan Pemerintah Kalurahan Baleharjo.
Namun bagi para pedagang, seindah apa pun alasan pemerintah, pindah berarti menghadapi ketidakpastian. Di balik spanduk yang tergantung diam, ada puluhan keluarga yang waswas menatap masa depan.
Pertanyaannya kini: akankah suara para PKL ini didengar? Ataukah spanduk-spanduk itu hanya akan menjadi saksi bisu dari keputusan yang telah bulat di balik meja kekuasaan?***