
TUGUJOGJA- Badan Usaha Milik Petani atau BUMP adalah lembaga ekonomi yang dibentuk, dimiliki, dan dijalankan oleh petani secara kolektif.
BUMP hadir sebagai jawaban atas tantangan klasik petani, seperti harga jual hasil panen yang rendah, ketergantungan pada tengkulak, serta minimnya akses terhadap pasar, teknologi, dan pembiayaan.
Berbeda dengan koperasi biasa, BUMP dibangun dengan pendekatan bisnis modern yang mengintegrasikan petani dalam rantai nilai dari hulu ke hilir—mulai dari produksi, pengolahan, distribusi, hingga pemasaran.
Dalam skema ini, petani tidak hanya menjadi produsen bahan mentah, tetapi juga memiliki peran dan kendali dalam proses pengolahan dan penjualan komoditas mereka.
3 Gapoktan Siap Gabung BUMP DIY
Tiga Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) dari Dadapayu, Sidorejo, dan Kelor resmi menyatakan kesiapannya untuk bergabung dalam Badan Usaha Milik Petani (BUMP) DIY.
Langkah ini menandai komitmen para petani lokal menuju kedaulatan pangan dan peningkatan posisi tawar mereka di rantai pasok pertanian.
“Alhamdulillah, tiga Gapoktan siap bergabung dalam BUMP DIY. Ini langkah penting untuk menuju petani yang berdaulat dan ketahanan pangan.” ungkap R.M. Kukuh Hertriasning, inisiator BUMP dan pengurus Yayasan Tani Indonesia.(2/5/2025)
Menurut Kukuh, BUMP DIY akan menjadi induk dari jaringan petani lintas daerah, mencakup tiga kabupaten dan satu kota di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Ia menegaskan, skema yang dikembangkan di Gunungkidul akan menjadi model BUMP nasional oleh Yayasan Tani Indonesia.
BUMP merupakan platform kolaboratif yang menghubungkan petani, Gapoktan, dan perusahaan pengolah komoditas termasuk pabrik pakan, industri olahan makanan, dan UMKM.
Dengan model ini, BUMP tidak hanya menjadi lembaga ekonomi, tetapi juga gerakan sosial untuk memperkuat posisi petani sebagai pelaku utama dalam sistem pangan nasional.
Manfaat BUMP
Kepada media, R. M. Kukuh Hertriasning menjelaskan manfaat BUMP untuk petani.
1. Peningkatan nilai tambah. Petani tidak hanya menjual hasil panen, tetapi juga bisa terlibat dalam pengolahan dan pemasaran, sehingga memperoleh nilai ekonomi yang lebih tinggi.
2. Akses pasar lebih luas. BUMP menjalin kerja sama dengan industri pengolahan, UMKM, dan jaringan distribusi sehingga produk petani lebih mudah terserap pasar.
3. Penguatan posisi tawar. Petani lebih kuat secara kolektif dalam menetapkan harga dan bernegosiasi dengan pembeli besar atau mitra usaha.
4. Manajemen rantai pasok. BUMP memfasilitasi logistik, penyimpanan, dan distribusi hasil pertanian secara efisien.
5. Akses pembiayaan dan teknologi. Melalui kelembagaan BUMP, petani lebih mudah mendapat akses pembiayaan dari bank maupun pelatihan dan inovasi teknologi pertanian.
Belajar dari BUMP Wonogiri
Sementara itu, inisiatif BUMP DIY dan akan berpusat di Kabupaten Gunungkidul ini terinspirasi dari kesuksesan serupa di Wonogiri. Mereka lebih dahulu membentuk BUMP sebagai sarana konsolidasi kekuatan petani lokal.
Di Wonogiri, BUMP berhasil menjadi simpul penting dalam integrasi hulu-hilir pertanian: dari produksi, pengolahan, hingga distribusi.
Keberhasilan ini menjadi pembelajaran penting bagi DIY dalam merancang struktur dan strategi kelembagaan BUMP yang lebih partisipatif dan berbasis komunitas.
“Wonogiri jadi benchmark awal. Tapi Gunungkidul punya keunikan tersendiri, terutama semangat gotong royong petaninya,” tambah R.M. Kukuh Hertriasning atau yang lebih sering disapa Ndoro Aning.
Dengan langkah awal yang kuat dan sinergi antarpetani, BUMP Gunungkidul akan menjadi tonggak baru dalam perjuangan petani DIY menuju kemandirian dan ketahanan pangan yang berkelanjutan. (Hari)