
TUGUJOGJA – Di tengah euforia penurunan harga BBM nonsubsidi, warga di selatan Gunungkidul justru menghadapi kenyataan pahit, krisis bahan bakar minyak (BBM) semakin parah.
Pemerintah pusat memang mengumumkan kabar menggembirakan pada awal Juni ini: harga BBM non-subsidi turun. Pertamax kini dijual Rp12.100 per liter, Pertamax Turbo Rp13.050, Dexlite Rp12.740, dan Pertamina Dex Rp13.200.
Namun, bagi masyarakat di wilayah pesisir dan perbukitan karst Gunungkidul, penurunan ini hanya menjadi kabar di layar televisi, tanpa makna nyata.
Warga Selatan Gunungkidul Krisis BBM
Warga di delapan kapanewon di selatan Gunungkidul—mulai dari Purwosari, Panggang, Saptosari, Tanjungsari, Tepus, Girisubo, hingga Rongkop dan Semanu—berjuang keras untuk mendapatkan BBM, terutama yang bersubsidi.
Di wilayah-wilayah ini, SPBU nyaris tidak ada. Pertashop yang sempat menjadi harapan warga, kini lebih banyak yang tutup, mangkrak, atau tak lagi menerima pasokan.
Suroyo, seorang petani sekaligus pejabat kalurahan di Purwodadi, Tepus, mengaku setiap kali ingin membeli BBM bersubsidi, ia harus menempuh jarak 24 kilometer ke Wonosari. Sementara di sekitarnya, Pertashop satu per satu berhenti beroperasi.
“Pertashop di dekat sini sudah lama tutup. Mau beli BBM subsidi harus ke Wonosari, itu pun belum tentu dapat karena antre. Kami akhirnya beli eceran di warung, tapi harganya lebih mahal dan kadang tidak ada stok,” tutur Suroyo.
Situasi ini berdampak luas, bukan hanya pada petani seperti Suroyo. Para nelayan di pantai selatan Gunungkidul pun merasakan imbasnya. Mereka membutuhkan solar untuk perahu, namun akses ke BBM bersubsidi terbentur berbagai aturan dan keterbatasan distribusi.
“Kami sudah urus surat rekomendasi, tapi yang dapat baru sebagian. Padahal hampir semua nelayan di sini butuh solar untuk melaut. Kalau tidak ada BBM, kami tidak bisa kerja,” tambah Suroyo.
Anak-anak sekolah pun terdampak. Dengan minimnya angkutan umum dan tingginya ketergantungan pada kendaraan pribadi, BBM menjadi urat nadi aktivitas pendidikan di desa. Tanpa pasokan yang lancar, banyak siswa kesulitan menjangkau sekolah tepat waktu.
Asih, pengecer BBM di Kanigoro, Saptosari, juga mengaku frustrasi. Ia selama ini melayani warga sekitar yang membutuhkan bensin untuk kendaraan roda dua dan mesin pertanian. Namun, aturan pembelian BBM menggunakan jerigen semakin diperketat.
“Sekarang beli pakai jerigen harus ada rekomendasi. Kami ini hanya menjual eceran untuk warga, bukan penimbun. Tapi kalau ketahuan bisa kena razia. Kadang sampai harus sembunyi-sembunyi dari aparat atau LSM,” ujar Asih, lirih.
Pengecer seperti Asih kini berada dalam dilema. Di satu sisi, mereka membantu memenuhi kebutuhan masyarakat. Di sisi lain, regulasi membuat mereka seperti pelanggar hukum. Padahal mereka hanya mencoba bertahan, ketika infrastruktur distribusi BBM tak kunjung merata.
Pernyataan Pihak Pertamina
Taufiq Kurniawan, Area Manager Comm Rel & CSR Pertamina Patra Niaga, menyatakan bahwa pembatasan pembelian BBM bersubsidi dengan jerigen bertujuan untuk menghindari penyalahgunaan dan memastikan tepat sasaran.
Namun ia mengakui ada kemungkinan solusi bersama jika ditemukan kondisi darurat di wilayah tertentu.
“Jika ada kebutuhan khusus di daerah terpencil, tentu akan kami pertimbangkan bersama pemangku kebijakan. Pertamina terbuka untuk berdiskusi demi pemerataan akses energi,” ujarnya melalui sambungan telepon.
Warga kini menuntut tindakan nyata. Mereka mendesak pemerintah dan Pertamina menambah SPBU, menghidupkan kembali Pertashop yang mati suri, serta menciptakan skema distribusi BBM khusus untuk wilayah-wilayah terluar seperti selatan Gunungkidul. Harapan mereka sederhana, bisa mendapatkan BBM seperti warga di kota-kota.
“Kami tidak minta banyak. Kami hanya ingin akses yang adil terhadap energi. Jangan sampai karena tinggal di pelosok, kami selalu jadi yang terakhir mendapat perhatian,” pungkas Suroyo.
Kondisi ini menjadi ironi besar. Di saat pemerintah mengumandangkan semangat pemerataan energi dan menurunkan harga BBM nonsubsidi, sebagian warga justru harus menempuh puluhan kilometer, mengantre, atau menyelinap dari aturan, hanya demi mendapatkan sebotol bensin.
Ketika tangki-tangki Pertamina mengalir deras ke kota-kota, di selatan Gunungkidul, warga hanya bisa menunggu dan berharap. (ef linangkung)