
TUGUJOGJA – Pergantian tahun baru Jawa atau 1 Suro menjadi momen istimewa bagi masyarakat, termasuk mereka yang berada di Yogyakarta.
Pasalnya, ada banyak tradisi Suro yang hingga kini masih dijaga dan dilestarikan.
Tradisi ini bukan sekadar seremoni budaya, namun juga menjadi bentuk perenungan, rasa syukur, hingga penyucian diri sebagai bekal memasuki tahun yang baru.
Di antara sekian banyak upacara adat yang ada, Tapa Bisu atau Mubeng Beteng Keraton Ngayogyakarta menjadi yang paling dikenal.
Namun ternyata, tradisi malam 1 Suro di Yogyakarta jauh lebih beragam dari yang banyak orang ketahui.
Tradisi Suro Tapa Bisu
Mubeng Beteng, atau yang juga dikenal dengan nama Topo Bisu, merupakan salah satu tradisi sakral yang digelar di lingkungan Keraton Yogyakarta.
Prosesi ini dilakukan dengan cara berjalan kaki mengelilingi benteng Keraton pada malam hari tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Suasana sunyi dan khidmat selama prosesi ini dimaknai sebagai bentuk introspeksi dan refleksi atas segala perbuatan yang telah dilakukan selama satu tahun terakhir.
Namun, Tapa Bisu hanyalah satu dari sekian banyak tradisi malam 1 Suro yang tumbuh subur di tanah Yogyakarta. Berikut beberapa ritual lainnya yang tak kalah bermakna.
Lalu, ada apa saja? Berikut adalah macam-macam tradisi 1 Suro di Yogyakarta yang masih ada sampai sekarang.
Tradisi 1 Suro Yogyakarta
1. Jenang Suran
Salah satu tradisi unik malam 1 Suro adalah penyajian Jenang Suran atau Jenang Panggul, yang digelar di Kompleks Makam Raja-raja Mataram di Kotagede, Bantul.
Para Abdi Dalem dari Keraton Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta akan mengarak bubur jenang bersama hidangan lain seperti ingkung ayam kampung, tumpeng nasi kuning, dan sayur kubis.
Setelah prosesi doa dan tahlil, sekitar 1.000 porsi jenang dibagikan kepada masyarakat.
Pembagian ini dipercaya membawa berkah bagi siapa saja yang menerimanya, serta menjadi simbol rasa syukur atas rezeki yang telah diberikan.
2. Jamasan Pusaka
Keraton Yogyakarta, Surakarta, hingga Pura Mangkunegaran turut melestarikan tradisi jamasan pusaka pada bulan Suro.
Jamasan ini merupakan ritual mencuci benda pusaka seperti keris, tombak, atau pedang sebagai simbol pembersihan diri dan penyambutan masa depan yang lebih baik.
Walaupun pelaksanaannya tidak selalu jatuh pada tanggal 1 Suro, ritual ini digelar sepanjang bulan dan umumnya dilakukan secara tertutup, hanya oleh pihak internal keraton.
3. Sedekah Laut
Di wilayah selatan Yogyakarta, tepatnya di Pantai Baron dan Pantai Kukup, Gunungkidul, tradisi sedekah laut rutin dilaksanakan pada 1 Suro.
Warga yang menggantungkan hidupnya dari laut berkumpul untuk menggelar kenduri.
Mereka membawa gunungan hasil bumi dalam iring-iringan menuju tepi pantai, lalu menaikkannya ke atas perahu untuk dilarung ke tengah laut.
Ritual ini menjadi ungkapan syukur sekaligus harapan agar tahun mendatang dipenuhi dengan hasil tangkapan dan rezeki yang melimpah.
4. Kirab Pusaka Tambakromo
Masyarakat Desa Tambakromo di Gunungkidul juga memiliki tradisi unik dalam menyambut malam 1 Suro, yaitu Kirab Pusaka atau dikenal dengan sebutan mapak tanggal.
Dalam prosesi ini, berbagai pusaka seperti keris, tombak, hingga pedang diarak oleh warga dari 11 padukuhan yang ada di desa tersebut.
Kegiatan ini mencerminkan penghormatan terhadap warisan leluhur sekaligus simbol kesiapan menyambut pergantian tahun Jawa.
5. Lampah Ratri Pakualaman
Pakualaman Jogja juga memiliki versi khas dari tradisi tapa bisu, yakni Lampah Ratri.
Prosesi ini dilakukan dengan cara berjalan kaki sejauh enam kilometer mengelilingi Beteng Kadipaten Pakualaman tanpa mengucapkan sepatah kata.
Rute perjalanan dimulai dari kompleks Kadipaten dan melintasi sejumlah jalan utama seperti Jalan Gajah Mada hingga Jalan Harjowinatan.
Adapun pelaksanaan Lampah Ratri juga hampir sama dengan Mubeng Beteng yang dilakukan Keraton Yogyakarta.
Dengan kata lain, masyarakat yang ikut prosesi ini dilarang untuk bersuara dan berbicara saat Lampah Ratri berlangsung.
6. Labuhan Goa Cemara
Tradisi labuhan juga hadir di Pantai Goa Cemara, Bantul, sebagai bagian dari penyambutan malam 1 Suro.
Warga setempat membawa gunungan hasil bumi dalam sebuah kirab yang menuju tepi pantai.
Pengunjung pantai yang hadir pada saat prosesi berlangsung juga diperbolehkan ikut menyaksikan jalannya acara.
Ritual ini diyakini sebagai bentuk syukur kepada Tuhan atas berkah alam serta permohonan perlindungan di tahun yang baru.
7. Bubur Suran
Usai menjalani berbagai prosesi dan laku spiritual, masyarakat Yogyakarta biasanya menyantap Bubur Suran atau Bubur Suro.
Hidangan ini terdiri dari bubur berbumbu santan, garam, jahe, dan serai yang disajikan bersama opor ayam, sambal goreng, serta taburan tujuh jenis kacang.
Ketujuh kacang tersebut — kacang tanah, mede, kedelai, hijau, tholo, bogor, dan merah — melambangkan tujuh hari dalam seminggu, sebagai pengingat agar manusia terus bersyukur setiap harinya.
Banyak Tradisi Suro di Yogyakarta
Jadi, tradisi 1 Suro di Yogyakarta tidak sekadar menjadi warisan budaya yang indah, namun juga mengandung nilai-nilai spiritual yang mendalam.
Mulai dari keheningan tapa bisu hingga ramainya sedekah laut, setiap prosesi mengajarkan tentang pentingnya refleksi, syukur, dan penghormatan terhadap warisan leluhur.
Maka tak heran, jika Yogyakarta menjadi salah satu daerah yang kaya akan ritual malam 1 Suro dan masih terus dilestarikan sampai saat ini.***