
TUGUJOGJA – Kasus penipuan berkedok investasi robot trading kembali mengoyak kepercayaan masyarakat.
Setidaknya 20 warga Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan sekitarnya mengaku menjadi korban investasi palsu yang menjanjikan keuntungan harian namun justru membuat mereka kehilangan dana hingga ratusan juta rupiah.
Pelaku menebar janji manis. Ia menawarkan sistem robot trading yang disebut mampu memberi keuntungan pasif antara 1 hingga 3 persen per hari.
Ia bahkan menjanjikan pengembalian penuh modal dalam jangka waktu enam bulan. Para korban yang tergiur dengan skema menggiurkan itu menyetorkan dana pribadi dalam jumlah besar, antara Rp20 juta hingga Rp100 juta per orang.
Namun, realita pahit langsung menyusul. Setelah beberapa bulan, para korban menyadari bahwa janji pelaku hanya ilusi. Tidak ada pembagian hasil. Tidak ada transparansi. Tidak ada kepastian.
Komunikasi antara pelaku dan korban mendadak terputus. Dana mereka lenyap tanpa jejak. Bukannya untung, para korban justru buntung.
Rasa kecewa dan amarah menyelimuti para korban yang kini mulai bersatu untuk menuntut keadilan. Mereka mendatangi kantor hukum Musthafa, S.H., seorang praktisi hukum yang kerap menangani kasus penipuan digital.
Ia menerima pengaduan korban dan langsung menegaskan bahwa perbuatan pelaku mengandung unsur penipuan dan melanggar ketentuan hukum.
“Kasus ini jelas mengarah pada pelanggaran UU Perdagangan dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pelaku memanfaatkan teknologi dan ketidaktahuan masyarakat tentang robot trading untuk menjerat korban. Ini adalah modus klasik dalam balutan modern,” tutur Mustafa.
Upaya Hukum dan Langkah Korban
Musthafa mengungkapkan bahwa tim hukumnya tengah menyusun laporan resmi yang akan mereka serahkan ke Polda DIY. Mereka juga menyiapkan gugatan perdata untuk menuntut ganti rugi secara material kepada pelaku. Ia menduga pelaku sudah beraksi sejak awal 2021 dengan memanfaatkan dokumen legalitas palsu untuk mengelabui korban.
“Pelaku tampaknya sudah sangat terlatih. Ia membuat sistem seolah-olah legal dan terpercaya. Padahal, setelah kami telusuri, izin usaha dan badan hukumnya tidak terdaftar di OJK maupun Bappebti. Semua fiktif,” tambah Mustafa.
Sementara itu, para korban tidak tinggal diam. Mereka mulai mengumpulkan bukti-bukti krusial yang akan memperkuat laporan ke pihak berwajib.
Bukti transfer bank, tangkapan layar percakapan, rekaman suara, hingga rekening koran tengah mereka himpun. Mereka berencana menyerahkan seluruh dokumen tersebut dalam pelaporan resmi ke Polda DIY pada pekan ini.
Tak sedikit dari korban mengaku telah mengorbankan tabungan keluarga, bahkan pinjaman pribadi, demi bergabung dalam skema investasi ini. Sebagian besar merasa tertipu karena pelaku menggunakan pendekatan personal dan memanfaatkan relasi sosial untuk memperluas jangkauan korban.
Pihak kuasa hukum menyerukan agar masyarakat lebih berhati-hati terhadap investasi yang menawarkan keuntungan fantastis dalam waktu singkat, apalagi yang tidak terdaftar secara resmi di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).
“Jika ada tawaran yang terdengar terlalu indah untuk jadi kenyataan, besar kemungkinan itu memang bukan kenyataan. Edukasi literasi keuangan mutlak diperlukan agar masyarakat tidak terus-menerus jadi korban,” imbaunya.
Kasus ini menambah daftar panjang penipuan investasi berbasis teknologi yang belakangan makin marak. Di tengah ketidakpastian ekonomi, masyarakat memang cenderung mencari jalan pintas untuk menambah penghasilan. Namun tanpa kehati-hatian, harapan bisa berubah menjadi kehancuran.